Membunuh kecerdasan anak! Keluhan pendidikan Indonesia dari kontributor Kompasiana

Karena berkawan dengan orang tua penyelenggara pendidikan rumah di facebook, maka alhamdulilah banyak share yang setiap saat diposting mereka. Aku juga berlangganan Kompas online dan Kompasiana, namun tanpa kawan-kawan di facebook banyak informasi yang mungkin aku lewatkan. Salah satunya ini. Ditulis oleh kontributor Kompasiana. Itulah potret yang terjadi di kebanyakan buku dan soal di pendidikan di tanah air :-(



Membunuh Kecerdasan Anak, Itukah Tujuan Pendidikan di Indonesia?




Berapa banyakkah orang tua di Indonesia yang menyadari apa yang diberikan oleh sistem pendidikan negeri ini kepada anak-anak mereka?

Tadi anak saya memulai hari pertama sekolahnya di tingkat Sekolah Dasar. Di salah satu sekolah yang kami pilih setelah melalui berbagai seleksi yang kami lakukan terhadap banyak sekolah lain.
Hari sabtu yang lalu, pihak sekolah membagikan buku-buku teks yang akan menjadi beban pelajaran bagi anak saya semester ini.

Salah satu dari buku yang diberikan kepada anak saya itu adalah Buku IPS untuk Kelas I SD yang diterbitkan oleh penerbit Yudhistira. Dengan Tim Penyusun Dra. Indrastuti, Dr. Sutisnan Rochadi dan Dwi Suyanti,S.Pd. Yang ditulis dengan standar ISI 2006.
Buku ini alih-alih menginspirasi anak dan mengembangkan rasa ingin tahu anak, malah mematikan kreatifitas anak dengan doktrin yang membatasi imajinasi anak sebatas apa yang sudah digariskan secara tidak cerdas oleh para penyusun yang berpredikat sarjana ini.
Contoh pembatasan dengan doktrin tidak cerdas ini bisa kita lembar evaluasi di halaman 22 dalam buku itu.
Di lembar evaluasi , para penyusun meminta anak memilih jawaban paling tepat terhadap pertanyaan seperti ini;
Pengalaman berbelanja biasa dilakukan bersama…..
a. adik
b. kakek
c. ibu

Melihat pasar malam merupakan pengalaman yang….
a. menyenangkan
b. menyedihkan
c. menakutkan

Saya benar-benar tidak paham apa yang ada dalam pikiran para penyusun buku bergelar sarjana ini saat membuat pertanyaan evaluasi semacam itu kepada anak SD kelas I yang imajinasinya masih sangat luas. Saya sulit menemukan point apa yang diharapkan oleh para sarjana ini dari anak-anak yang masih polos dengan menjawab pertanyaan seperti yang mereka susun.

Pada pertanyaan pertama, jawaban yang mereka inginkan jelas IBU. Tapi apakah semua anak mutlak harus memiliki pengalaman seperti itu? Jelas tidak!

Contohnya anak saya yang menjadi target dari evaluasi yang mereka buat ini, bukannya menjawab tapi malah emosi sebab tidak satupun dari pilihan itu yang cocok dengan pengalamannya, karena dia biasa berbelanja dengan saya. Sementara adik sepupunya yang tinggal dengan mertua saya biasa berbelanja dengan kakeknya.

Sebagai orang dewasa, kita dengan mudah bisa melihat adanya bias gender dalam pertanyaan evaluasi ini.
Tapi karena anak kelas I SD jelas tidak punya sikap kritis seperti itu. Jelas kalau kita sebagai orang tua tidak mendampingi mereka akan menelan mentah-mentah doktrin ini. Dan karena di sekolah anak-anak itu dipacu untuk menjadi juara, anak-anak itu akan tanpa saringan menjawab B untuk mendapatkan nilai yang baik demi prestasi sekolahnya. Dan sikap bias gender yang ditanamkan oleh para sarjana pendidikan penyusun buku ini pun mulai masuk ke dalam kesadaran anak-anak yang masih lugu.

Apakah ini point yang diharapkan oleh para sarjana pendidikan penyusun buku?

Berbeda misalnya kalau pertanyaan itu diawali dengan sebuah cerita tentang anak yang katakanlah bernama Wati yang biasa berbelanja dengan ibunya. Lalu dalam pertanyaan evaluasinya ditanyakan berdasar pengalamannya, dengan siapakah Wati biasa berbelanja? Ini jelas lebih masuk akal.

Lalu di pertanyaan kedua, ini benar-benar pertanyaan gila. Bagaimana mungkin ada orang dewasa yang bisa menentukan bahwa pengalaman seorang anak melihat pasar malam harus menyenangkan, menyedihkan atau menakutkan. Sebab seorang anak bisa saja mengalami perasaan apapun saat melihat pasar malam. Bisa menyenangkan kalau saat melihat pasar malam itu perasaan anak sedang senang dan bahagia. Bisa menyedihkan kalau sedang melihat pasar malam itu dia melihat peminta-minta dan orang cacat. Bisa menyebalkan kalau di pasar malam itu orang tuanya ribut dan berantem. Bisa juga menakutkan kalau di pasar malam itu dia bertemu badut, atau dirampok atau mengalami pengalaman horor lain. Jadi bagaimana orang-orang dewasa ini bisa menentukan apa yang dirasakan oleh anak saat melihat pasar malam?

Sebagai orang tua, saya juga melihat para penyusun buku ini masih sangat dipengaruhi oleh teori psikologi usang yang menganggap anak sebagai kertas kosong yang bisa ditulisi apa saja sekehendak orang dewasa. Dan menafikan kalau anak di usia 6 tahun juga sudah memiliki kapasitas mental untuk memiliki pendapat dan menganalisa benar salahnya sebuah tindakan.

Pandangan seperti ini tercermin di lembar evaluasi yang sama pada halaman 23.
Di sana ada pertanyaan yang berbunyi:

ayah dan ibu tidak ada di rumah
ninis ditemani bibi
ninis harus…
a. seenaknya sendiri
b. menonton televisi dan tidak belajar
c. mematuhi nasehat bibi

Melalui pertanyaan seperti ini jelas para penyusun buku ini sedang memaksa anak untuk menempatkan diri pada posisi inferior yang tidak memiliki hak suara apapun di hadapan orang dewasa. Seperti para budak yang harus patuh pada apapun kata tuan pemiliknya.

Sehingga seolah-olah. Oleh para sarjana penyusunnya. Buku ini  didesain untuk membuat anak untuk menjadi robot yang tidak memiliki kepercayaan diri. Didesain untuk membuat anak menjadi seorang yes man yang patuh sempurna pada atasan dan mempercayai bahwa seorang atasan tak pernah salah.

Ini baru pelajaran IPS yang sesuai standar ISI 2006. Masih ada racun-racun standar pembunuh kreatifitas dan kepercayaan diri anak yang lebih parah yang akan kita temui kalau kita membaca buku pelajaran budi pekerti.
Setelah membaca buku-buku pelajaran ini saya jadi bertanya-tanya sendiri, membunuh Kecerdasan, kreatifitas Anak, Inikah tujuan pendidikan di Indonesia?

Lebih dari 400 tahun lalu di kota firenze Italia, seniman sekaligus ilmuwan besar Leonardo da Vinci mengatakan "An argument based on authority, is not the intelligence but the memory."
Sekarang empat abad kemudian inilah yang dipraktekkan oleh sistem pendudukan di Indonesia, mengajarkan anak berargumen berdasarkan atas otoritas yang dimiliki.
Mengacu pada apa yang dikatakan Da Vinci, kita menyaksikan. Sistem pendidikan di Indonesia, mendidik anak untuk memperkuat daya ingatnya, bukan intelegensi alias kecerdasannya.

Kurikulum pendidikan Indonesia tampaknya ingin membuat jutaan anak Indonesia menjadi hard disk berjalan. Dengan cara membunuh potensi kecerdasan, kreatifitas, daya imajinasi serta sifat kritis anak. Kurikulum pendidikan Indonesia tampaknya hanya ingin memproduksi anak-anak yang hanya bisa mengulang dengan tepat apa yang dikatakan oleh orang dewasa.

Sebagai orang tua kita tidak punya banyak pilihan. Memilih sekolah bagus yang menghargai potensi dan kreatifitas anak, biayanya tidak kurang dari 5 juta sebulan. Memasukkan anak ke sekolah berkurikulum Indonesia, anak kita bukan dididik menjadi manusia, tapi menjadi hard disk yang tidak bisa diandalkan untuk mengolah data.

Jadi sebagai orang tua dengan penghasilan pas-pasan yang tidak mampu menyekolahkan anak di sekolah dengan biaya 5 juta per bulan. Kita punya sedikit sekali pilihan, mendidik anak dengan cara home schooling yang membuat anak-anak terisolasi dari dunia sekolah seperti anak-anak seusianya. Atau membiarkan anak sekolah dengan kurikulum Indonesia tapi dia mendapatkan kegembiraan bermain dengan resiko sekolah menjadikannya hard disk berjalan.

Saya memilih yang kedua dengan sedikit modifikasi. yaitu menjadikan anak sebagai pemberontak, melawan sistem sejak usia muda.

Wassalam
Win Wan Nur

Sumber: Kompasiana


Comments

vivi sovi said…
Ijin share ya mba moi.
Moi Kusman said…
Dear Vivi Sovi. Dengan senang hati karena itu juga ambil dari Kompasiana. Salam kenal. Terima kasih sudah mampir.

Popular Posts