Eat, drink and be merry. Semua anak doyan makan!

Berkumpul dengan keluarga besar sungguh menyenangkan. Karena suamiku anak bungsu di keluarganya maka kami lebih sering untuk mendatangi abang-abang dan uni-uni itu. Menjadi yang termuda pula membuatku punya beberapa keponakan-keponakan dari pihak suami yang sudah mempunyai anak. Dengan kata lain aku secara tidak langsung sudah menjadi eyang/oma/nenek atau apapun panggilannya. Cucuku paling besar kelas 5 SD -bahkan lebih tua dari anak bungsuku Fattah (7 tahun). 

Menyaksikan keponakan-keponakanku -yang saat aku menikah dulu paling tua masih SMP dan SMA- mengasuh anak-anak mereka, sungguh sebuah pemandangan yang berbeda dengan saat aku mengasuh anak-anakku sendiri. Dengan bertambahnya umur dan insya Allah bertambah ilmu, aku jadi lebih mengerti dan terus mencoba bersabar dalam mengasuh anak. Walaupun belum langsung menjadi nenek karena anak-anakku belum punya anak, aku bisa merasakan mengapa kakek-nenek itu lebih sabar kepada cucu-cucu mereka dibanding dengan pada saat mereka menjadi orang tua mengasuh anak mereka sendiri. Mereka lebih sabar karena sudah sampai pada keadaan "been there done that". Begitupun aku.

Apakah seorang anak harus menghabiskan makanannya? Jawabannya "ya" saat anak itu sudah diajari untuk mengetahui tingkat lapar perutnya sendiri, namun "tidak" saat dia masih dalam masa belajar. Akupun dulu sering memaksakan dua anak-anak tertuaku untuk menghabiskan makanan mereka saat kecil dengan alasan bahwa mereka harus bertanggung-jawab pada apa yang sudah mereka ambil. Namun sebetulnya siapa yang menentukan porsi dari nasi dan lauk mereka? Pilihan mereka atau orang tua atau pengasuh? Kebanyakan bukan anak. Kalaupun anak yang menentukan porsi mereka; please deh mereka belum punya judgement yang tepat dalam menentukan berapa kosong atau penuh isi lambung mereka karena mereka masih muda; DAN karenanya harus diajarkan dan mereka akan belajar jika kita terus mengingatkan dan mengajarinya. Kalau diperhatikan jarang sebetulnya kita melihat orang dewasa tidak menghabiskan makanan di piring mereka sampai tandas. Itu artinya mereka sudah belajar dan jika anak-anak melakukan hal itu artinya mereka sedang belajar.


Kita mungkin sudah mendengar untuk "berhenti makan sebelum kenyang". Orang dewasa tahu pasti bagaimana rasanya jika perut sudah kenyang tapi tetap harus dipaksa memasukkan makanan ke dalam mulut untuk diteruskan ke perut. Ironisnya hal itu yang dipaksakan orang tua pada anaknya. Anak tahu batas kenyang mereka dan biarkan mereka mengenalinya. Adalah bijaksana bila orang tua memperkenalkan anak agar menikmati apa yang mereka makan, juga pada pentingnya buah dan sayur. Jika itu semua sudah menjadi kebiasaan, maka kelak fungsi auto pilot yang berjalan. 


Terus terang aku tidak suka dengan ide "makan sambil main." Sudah merupakan pemandangan umum di sore hari anak-anak berjalan-jalan sambil disuapi. Makan malam di sore hari? Sungguh aneh. Belum lagi makan sambil main di tempat bermain umum! Satu nilai buruk lagi ditanamkan pada anak: tidak apa-apa mengotori fasilitas umum! Dengan pengkondisian semacam itu, memang makanan akan masuk, tapi apa sebetulnya inti dari semua ini? Mana yang lebih penting, anak kenyang dengan sedikit paksaan dan orang tua punya peace of mind, atau anak senang dan menikmati apa yang dia makan?


Aku sering cukup nyinyir dalam hal makan sambil main ini dan ingin sekali membela hak anak. Ada beberapa teman dengan alasan agama menolak acara standing party -dimana sebagian besar tamu makan sambil berdiri- karena menurut mereka makan harus sambil duduk, namun mentolelir acara makan sambil jalan-jalan ini dengan dalih "namanya aja anak-anak." No way! Makanan HARUS dihormati karena itu adalah pemberian dari Yang Maha Kuasa karenanya wajib diajarkan sejak day one. Dengan jalan-jalan anak tidak sadar bisa menjadi gemuk namun tidak sehat karena anak dipaksa menelan kuantitas -dengan kualitas yang mungkin baik- namun dengan penghargaan rendah pada kebahagiaan anak dan pada makanan.

Buat aku another big NO adalah saat melihat anak kalap mengambil banyak makanan sekaligus karena lapar mata alias -mohon maaf- rakus. Sungguh aku tidak suka tapi pada saat bersamaan juga kasihan pada anak itu atas sikapnya yang salah tersebut. Tidak dapat dipungkiri jika aku melihat anak yang berperi-laku demikian, "kesalahan" tidak sepenuhnya ada pada anak tersebut. Anak itu cerminan didikan orang tua karena semua anak terlahir suci. "I believe the children are the future. Teach them well and let them lead their way," kata sebuah lagu.

Pengalaman adalah guru yang terbaik, namun hanya bila kita menyengaja mengambil hikmah di balik semua pengalaman tersebut. Tidak harus pengalaman yang dialami sendiri tetapi juga dapat memetik inti sari dari apa yang dialami orang lain. Pengalamanku tidak disangka-sangka diberi anak ke tiga di saat telah memiliki dua anak laki perempuan dimana anak ke dua telah berumur 9 tahun serta telah berusia 40 tahun pula, menjadikan aku pada suatu kondisi dimana aku harus ikhlas menerima amanahNya apapun itu. Rupanya betul-betul things happen for reasons.

Juga pengalaman aku terjun, terperosok dalam, namun sangat menikmati lembah indah bernama homeschooling juga merubah paradigmaku dalam pengasuhan anak. Sebuah ketersiuman yang cukup terlambat di masa dimana seharusnya aku sudah dapat menarik pelajaran dari pengalamanku mengasuh sendiri ke dua anakku tertua tanpa bantuan pengasuh sejak mereka bayi. Yet, better late than never. Sekali lagi, things happen for reasons. Semua indah pada waktunya. Hal yang harus terus dilakukan adalah terus istiqomah dan berusaha; itu menurutku.


Gambar:
http://gabriellelee.com/Galleries/Theatre/EatDrink.html
http://alitkids.com/2011/03/19/lomba-desain-kaos-bisa-makan-sendiri/
http://www.babybites.info/2009/07/23/child-obesity/

Comments

Popular Posts