Harga diri yang sangat mahal!


  • "Mudik ya? Jangan lupa oleh-olehnya ya!"
  • "Ada yang ulang tahun nih. Ditunggu traktirannya lho."
  • "Selamat ya diterima kerja. Gaji pertama nanti makan-makannya ditunggu."

Hal yang sudah biasa kita dengar. Ironisnya, kog tema-nya sama ya yaitu minta-minta? Mudah sekali kita bereaksi demikian dan tanpa sadar bahwa yang sudah kita keluarkan bertolak belakang dengan hal yang kita yakini bersama yaitu "tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah." Saking biasanya sampai hal ini dianggap lumrah. Minta-minta lumrah? Pasti pernah kita menyaksikan adegan di film dimana orang yang berulang tahun diberi surprise oleh kawan-kawannya. Begitulah perlakuan orang berulang tahun di kebanyakan negara barat. Begitu pula orang yang baru lulus, pulang ke rumah, mendapat pekerjaan baru. Orang lain merayakan. Bukan minta ditraktir!

Minta ditraktir. Inikah yang menjadi "semangat" bagi-bagi rejeki? Semangat syukuran setelah berhasil mencapai tujuan yang disalah-gunakan? Kalau seseorang merasa bersyukur dan bentuk rasa syukur tersebut adalah dengan melaksanakan syukuran dengan mengundang teman, handai taulan dan lain-lain, maka itu adalah hak orang tersebut. Tapi kalau seseorang berhasil dan orang-orang sekelilingnya memintanya untuk melaksanakan syukuran dengan cara mentraktir mereka makan, meminta bagian, meminta uang; maka itu namanya pemerasan! Pemerasan! Benci aku bahkan saat mendengarnya. Pemerasan yang biasa aku lakukan hanya memeras jeruk nipis untuk jus di pagi hari atau sesekali memeras kelapa parut tua dijadikan santan untuk rendang; itu saja! Yang lain, aku akan katakan tidak!


Bukan cerita baru bahwa segala urusan menyangkut birokrasi selalu berbau uang. Sebut saja dari hal yang kecil seperti mengurus KTP, mengurus ijin usaha sampai memasukkan tender. Sedihnya hal ini tidak saja terjadi pada perusahaan milik negara tapi juga perusahaan swasta. Pengemis ada dimana-mana. Kalau abdi negara dengan alasan gaji yang tidak memadai -meskipun gaji melebihi UMR/UMP dan hampir tiap tahun naik; maka mungkin dengan alasan biaya hidup tinggi pula yang membuat para abdi swasta berbuat yang sama. Jadi namanya bukan lagi sekedar uang rokok -please deh, hari gini rokok juga ada peringatan berbahayanya, tapi juga harus siapkan pundi-pundi agar terbeli Alphard terbaru di garasi, tidak peduli orang bertanya kog bisa punya. Aneh! Lebih terhormat pengungsi gempa Jogja beberapa tahun yang lalu dengan t-shirt mereka "malu jadi benalu" karena tidak mau terus menerus dibantu.


Apa kebiasaan meminta-minta ini yang menyuburkan praktek penyogokan di kalangan bisnis? Apa sih sebetulnya korupsi itu kalau salah satunya adalah praktek penyalahgunaan jabatan? Ada sebuah kisah pejabat di jaman nabi Muhammad yang menjadi contoh terang benderang dilarangnya memanfaatkan jabatan. Saat itu seorang pejabat pengumpul pajak dengan patuh menyetorkan semua hasilnya pada nabi. Seluruhnya dia laporkan dengan jujur begitupun sejumlah uang miliknya yang dia terima bukan karena dia minta melainkan pemberian dari penyetor pajak. Gusar nabi berucap bahwa lebih baik sang pengumpul pajak tidur saja di rumah ibunya. Si pengumpul pajak heran dan bertanya mengapa; nabi menjawab dengan pertanyaan: apakah jika ia tidur di rumah ibunya maka uang itu akan datang padanya? Bukankah uang tersebut ada karena jabatannya? Jelas sudah bahwa menerima karena jabatan itu dilarang! Menerima saja dilarang, apa lagi meminta. Sighs. Tapi sedihnya memang godaan fulus demikian menggiurkan. Slurp. Seperti anjing menjulurkan lidah yang basah oleh liurnya yang menetes. 


Begitu rendahnyakah kita yang gembar-gembor memproklamirkan sebagai umat beragama? Indonesia adalah bangsa dengan penduduk religius. Coba saja tengok ke negara barat. Siapa yang rajin ke gereja? Sementara di Indonesia gerakan pemuda dengan basis agama adalah hal yang lumrah dimana-mana. Jarang dari kita yang tidak percaya pada Tuhan. Sementara di negara dengan tingkat korupsi rendah, populasi Atheis justru banyak. Mengapa tingkat korupsi kita tinggi? Apakah Jaka Sembung alias tidak nyambung antara religiusitas seseorang dan harga dirinya? Padahal agama mengajarkan untuk hanya meminta padaNya. Aku teringat bapak yang alhamdulillah masih sehat di usia beliau ke 82 tahun. Sesekali beliau masih menyetir mobil manualnya dari tempat tinggal di Bogor menengok adikku di Jakarta. Saat beliau masih aktif bekerja, beliau "miskin", dikatakan "lugu" dan tidak mau kompromi. Bagi bapak yang hitam itu hitam dan putih itu putih; tidak ada abu-abu. Aku yakin bapak sehat karena insya Allah beliau tidak makan uang haram.

Memberi atau menerima, mana yang lebih membahagiakan? Menerima itu pastilah senang, tapi manusia yang normal pasti punya harga diri untuk enggan menerima terus menerus. Bahkan saat kita memberi atau melakukan sesuatu pada orang lain, yang membahagiakan adalah ketika menyaksikan bahwa pemberian kita itu membahagiakan orang yang kita beri. Memberi adalah sebuah kehormatan. Menyaksikan acara Secret Millionaire dan Undercover Boss di BBC Knowledge kita dapat melihat indahnya memberi.


Memberi itu berarti meminta pada si penerima untuk rela menerima; karena seperti yang aku sudah sebutkan di atas, fitrahnya manusia itu bukan menerima, tapi memberi. Terus menerus menerima akan melemahkan harga diri. Memberi itu menjadikan seseorang pada posisi di atas penerima, sekaligus menjadi posisi di bawah karena sebetulnya pemberi itu perlu penerima. Seperti pertanyaan mengapa Tuhan tidak menjadikan semua orang kaya saja biar tidak ada peminta-minta; tapi itulah esensi dari adilnya Yang Maha Adil. Siapa bilang hanya orang miskin perlu orang kaya? Kalau aku mau zakat tidak ada penerimanya, maka itu namanya adil?


Ada baiknya kita renungkan kembali jawaban dan reaksi kita terhadap hal-hal yang terjadi di sekeliling. Harta yang terbesar dari diri kita adalah harga diri. Apa jadinya bila sudahlah miskin harta, harga diripun tak ada. Sebaliknya, apalah arti semua rekening di bank, kendaraan kinclong di garasi, properti di daerah segi tiga berlian, tapi tak ada harga diri karena selalu meminta? Sudah saatnya untuk hijrah dan -alih-alih meminta- jauh lebih baik jika reaksi kita adalah:
  • "Mudik tahun ini? Wah asyik dong. Have fun ya. Ati-ati lho. Soalnya jalan kan padat tuh."
  • "Selamat ulang tahun. Semoga sehat, bahagia dan segala keinginan tercapai."
  • "Wah selamat ya diterima kerja. Semoga betah dan lancar karirnya."


Gambar:
http://miftahegis.blogdetik.com/2010/03/25/share-berbagi/
http://tv-junky.com/2011/03/07/watch-secret-millionaire-season-2-episode-1-dani-johnson-knoxville-tn

Comments

{Eka} said…
Inspiring, Mbak! Thanks for sharing. Bisa jadi bahan diskusi sama anak2 nanti wkt belajar. Makasiiiiih.. *peluk Mbak Moi
Maria Magdalena said…
mbak Moi, ini sangat menarik dan inspiratif. Tanpa tedeng aling-aling serta mengandung rendang. TOP wes!
Moi Kusman said…
Dengan senang hati @Ing. *berpelukan*

Matur suwun @Maria. Tanpa tedeng aling2 belajar karo preman Sidoarjo :p
titiw said…
Sudah lama aku tidak menjadi orang yang seperti di atas mbak. Karena kesel juga kalo digituin. Tapiiii.. Aku udah berada pada titik "Orang kan cuma basa basi ngomong begitu. ditanggepin aja pake senyum". Kalo kesel malah kita yang rugi. Hehe.. :)

Popular Posts