Why Mac?

Di kamar ayah Iwan: Fari, Amira & Ghea -anak sulung Ritzwan.
The King is dead. Long live the King!

Itu adalah kalimat yang pantas aku tujukan pada Steve Jobs di hari dia mangkat. Mangkat? Apakah kata itu pantas untuk seorang yang bukan siapa-siapa seperti Steve Jobs bisa jadi aku didebat banyak orang. Tapi perasaan orang tidak bisa diatur. Entah itu lebay, get carried away atau impulsif, tapi aku merasa kata "mangkat" sangat cocok untuk kematian Jobs.

Orang di lingkungan keluargaku yang sangat fanatik dan pengguna produk Apple atau Mac sejak lama adalah adik iparku Ritzwan, seorang yang di kartu namanya adalah seorang creative director yang gila petualang dan game! Almarhumah isterinya adalah adik dari suamiku. Ria adalah seorang arsitek dan desainer interior yang juga pengguna komputer Macintosh untuk pekerjaannya sejak belum menikah. Suami istri yang unik dan sangat kreatif. Dialah "kompor" di keluarga kami dalam urusan teknologi. Ritzwan adalah rujukan kami sekeluarga besar bila ada gadget-gadget atau alat elektronik terbaru. Dia adalah tipe orang yang -menurut Simon Sinek rela antri berjam-jam untuk menjadi orang pertama yang memiliki, menjajal dan menikmati produk elektronik baru dengan harga masih mahal meskipun mungkin produk tersebut belum sempurna. 


Ritzwan adalah pihak yang paling bertanggung jawab yang telah sukses besar "meracuni" keponakan-keponakannya dan kami semua untuk memakai MacBook dan produk Apple lainnya. Seperti orang linglung dibius di terminal, kamipun seperti kerbau dicucuk hidung membeli perangkat Mac di toko langganannya! Pergi dan menginap ke rumah "ayah Iwan" -begitu keponakannya memanggilnya- adalah kesempatan yang paling dinanti. Banyak jadwal main walaupun hanya di rumah saja. Wii, Kinect, XBox 360 dan Play Station tersedia. Selain itu bisa juga menimba ilmu ayah Iwan yang lain: fotografi, mobil Mini-Z, mobil remote control, sepeda gunung, entrepreneurship dan memasak! Setiap akhir pekan berdua dengan istrinya yang sekarang, sejak mulai sarapan, Ritzwan sudah di dapur untuk mencoba banyak resep. Masakannya top markotop. Belum lagi para keponakan bisa seru-seruan bermain musik di studio musik miliknya yang dibangun di bagian samping kanan rumahnya. Betul kata Steve Jobs bahwa produknya diciptakan bukan untuk orang sembarangan, tapi untuk "orang gila" -round peg in a square hole- seperti Ritzwan.


Seperti juga mungkin sebagian besar orang di Indonesia, akupun pernah menganggap bahwa produk Apple itu mahal. Saat anak-anak remaja kami ingin punya pemutar MP3, mereka berburu mencari yang kualitasnya terbaik dengan harga yang sesuai dengan uang kami saat itu. Setelah mencoba beberapa produk dan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk survey -baik dari internet maupun pergi dari satu toko ke toko lain untuk mencoba, akhirnya pilihan harus jatuh pada iPod walaupun dengan berat hati kami harus merogoh saku lebih dalam. Pengalaman yang ternyata sungguh berharga karena waktu dan tenaga yang seolah terbuang menjadi tidak sia-sia setelah akhirnya memutuskan untuk membeli yang termahal, yang artinya dengan resiko uang yang keluar lebih besar. Sebagai orang tua kami puas. Anak-anak bukan sekedar mencari merek dan gengsi, tapi betul-betul seperti menyisir dalam pencarian pada sebuah mutu yang baik. Di sana anak-anak -juga kami- belajar bahwa kalau kita ingin yang terbaik, pasti ada pengorbanan. Sangat sah jika seseorang menginginkan yang bermutu. Jika kita akhirnya putuskan untuk memiliki kualitas ke dua, tiga atau selanjutnya, kita tahu bahwa yang terbaik itu apa. Go for the best itu harus. Syukurlah kami dapat kesempatan untuk menikmati iPod Shuffle, Nano dan Classic. 


Begitupun saat kami ingin membeli komputer. Anak-anak mulai dengan melimitkan pilihan dengan berbagai alasan. Ini penting agar saat ditanya mereka dapat menerangkan mengapa mereka pilih apa yang mereka pilih. Karena dana kami alhamdulillah tidak terlalu melimpah, maka pembelian harus dijatah, yaitu bergantian. Si tengah Amira yang pertama kali punya MacBook. Pilihan jatuh pada MacBook White. Beberapa bulan sesudahnya giliran abangnya yang punya MacBook Pro. Sekali lagi kami sangat bersyukur diberi kesempatan untuk memiliki apa yang kami inginkan. Dan saat aku harus membeli, aku tanya anak-anak kira-kira apa yang cocok buatku. Aku memakai MacBook Air. Ada satu keluhanku tentang Air adalah ternyata aku perlu yang lebih besar kapasitasnya ditambah aktivitasku dengan ibu-ibu sesama praktisi pendidikan rumah yang sangat melek teknologi. Tapi aku tidak mau mengeluh lebih lanjut. Air sangat ringan dan karena hardware istimewa di dalamnya, aku bisa langsung tutup dan bawa. Sangat cocok untuk ibu mobile yang bawa Fattah ke tempat mengajar seperti aku.


Pengalaman tidak terlalu punya banyak dana ternyata makin mengajari kami untuk cermat untuk memilih tanpa harus settle for the second best. Harus pilih yang terbaik walaupun itu berarti harus menabung dan mengurangi pengeluaran lain. Begitupun saat kami ingin membeli hape. Terbiasa menyisir dan mencoba bermacam gadget dengan dana yang tidak banyak, membuat kami sangat kritis pada setiap pengeluaran tanpa melacurkan keinginan kami. Setelah sekian lama menimbang akhirnya memutuskan tidak membeli Blackberry. Kami tidak mau latah go for the crowd; kedua walaupun BB menawarkan jasa BBM sebagai fitur unggulan, buat anak-anak (aku sih manut saja) fitur Blackberry itu sangat amat jauh tertinggal untuk disebut smart phone. Itu kata anak-anakku; dan aku mengamininya. Kami sempat memilih Android sebelum akhirnya membeli juga iPhone dan menyadari bahwa pilihan kami sesuai dengan keinginan kami. 


Tidak ada yang sempurna. Ada banyak pilihan di dunia ini dan pilihan kita sangat dipengaruhi oleh kebutuhan kita masing-masing dan setiap orang berhak penuh atas pilihannya dengan alasan apapun itu. Lalu yang berikutnya apa lagi? iMac, iPad2, MacBook buat Fattah, iPhone 4S? Insya Allah. Pengalaman mengajari kami bahwa tidak ada yang terlalu mahal untuk satu keinginan apa bila kita menginginkan hal tersebut karena alasan yang tepat dan bukan buying on impulse serta ikut-ikutan. Hanya Tuhan yang mengerti kebutuhan kita maka mintalah padaNya. Kalau dikabulkan berarti memang itulah izinNya. Kalau belum, hanya Tuhan yang tahu kapan saat terbaik kita.


Steve Jobs memberi kami pengalaman yang tidak ternilai dengan gadget state-of-the-art namun indah dipandang mata dan nyaman dioperasikan yang diciptakannya. Aku bersyukur untuk itu dan sangat kehilangan saat dia wafat. Ingat satu kalimat dalam bahasa Jawa yang diucapkan almarhumah ibu saat Bung Karno wafat, "dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan." Bukan saudara dan bukan siapa-siapa, tapi saat meninggal kita ikut kehilangan. Tidak banyak yang demikian. Buatku dudu sanak dudu kadang yang meninggalnya melu kelangan diantaranya Bung Hatta, John Lennon, Bang Ali, Baharudin Lopa, Benyamin S., Harry Rusli, Gus Dur, Chrisye, Michael Jackson, Utha Likumahuwa dan sekarang Steve Jobs.



Comments

Anonymous said…
Suka banget ulasan nya serta isi cerita tentang kegiatan anak2 dalam teknologi Apple dan musik. Menjadi gembira hati adalah dasar dari ilmu pengetahuan berkembang pesat, lalu merdeka menjadikan manusia kreatif dan inovatif. Suka bangetzzz... terima kasih ya sudah berbagi cerita...

Abi Sabsono SEMUTINDONESIA.COM
Moi Kusman said…
Assalamualaykum mas Abi. Terima kasih sudah mampir, baca & lebih lagi atas komennya yang membuat makin semangat menulis & berbagi.
Seno said…
Suka kata-kata: Hanya Tuhan yang mengerti kebutuhan kita maka mintalah padaNya. Kalau dikabulkan berarti memang itulah izinNya. Kalau belum, hanya Tuhan yang tahu kapan saat terbaik kita.
Moi Kusman said…
@Seno: Allah yg membimbing saya saat itu, alhamdulillah. Berharap terus dibimbing agar bukan setan yg menang. :D
Terima kasih sudah berkunjung & beri komentar.

Popular Posts