Garuda Di Dadaku, PKn dan Cinta Tanah Air.

Garuda Di Dadaku 2
Semalam kami -Fattah (8 tahun) dan suamiku- menghabiskan Jum'at malam kami dengan menonton Garuda Di Dadaku 2. Saat siang aku dan Fattah melintas bioskop 21 di kota kami, terlihat film tersebut sedang main aku menawarkan Fattah apakah dia mau nonton. Fattah semangat. Aku sendiri belum menonton sekuel yang pertama karena memang kami jarang nonton. Anak-anakku yang remaja sering; tapi aku dan suamiku seperti kekurangan waktu untuk kegiatan santai ini.

Sepak bola memang sedang kembali merebut hati seluruh rakyat Indonesia, dari hanya dunia laki-laki dan sedikit perempuan menjadi acara keluarga dimana banyak perempuan sekarang dapat menikmatinya; seperti acara jalan-jalan ke luar rumah satu keluarga. Dengan meningkatnya kelas menengah, merchandise sepak bola yang tidak murah menjadi sesuatu yang wajib dimiliki. Sepak bola dan olah raga secara keseluruhan berjalan dari kelas amatir beranjak menjadi satu industri besar melibatkan uang yang luar biasa besar. 


Aku ingin mengaitkan film ini dengan pelajaran Pendidikan Kewarga-negaraan (PKn) bagi anak-anak seperti Fattah yang tidak bersekolah di sekolah umum. Kami tidak melaksanakan upacara setiap hari Senin. Kami menyanyikan lagu Indonesia Raya saat kami ingin menyanyikannya; bukan saat kami diminta untuk menyanyikan padahal kami tidak sedang ingin menyanyikannya. Momen Indonesia Raya yang paling membanggakan adalah saat kita semua -langsung di stadion maupun di rumah- menyanyikan lagu tersebut sebelum tim Merah Putih berlaga melawan tim negara lain; atau saat medali emas dikalungkan di atlit kita di ajang internasional. Saat lain adalah saat kami menyengaja menyalakan televisi untuk menyaksikan upacara 17 Agustus langsung dari istana di Jakarta. 


Pelajaran PKn adalah pelajaran membangun jembatan agar kenal kemudian sayang pada tanah air tercinta. Apakah hal yang menyebabkan kita mencintai tanah air kita? Apa karena kita lahir di sana maka kita wajib mencintainya? Bagaimana dengan orang asing yang lahir di Indonesia atau orang Indonesia yang lahir di negeri orang? Bagaimana dengan orang asing yang jatuh cinta pada Indonesia? Mengapa mereka jatuh cinta pada hal abstrak bernama negara? Apakah bila seseorang tidak lagi mencintai negaranya itu berarti pelajaran PKn yang didapatnya telah gagal? Mari kita salahkan guru PKn dan sekolahnya? Sebaliknya, apakah seseorang yang tidak mempelajari PKn -seperti Fattah dan teman-teman yang dididik di rumah- otomatis tidak mencintai negara? Mudahnya menuduh orang lain dan mudahnya memberi sejuta alasan jika tuduhan itu mengena diri kita.

Chanee Brule
Lihat Chanee dengan acara Good Morning, Kalimantan yang aku lihat acaranya di BBC Knowledge. Seorang Perancis yang mati-matian membela satwa di Kalimantan dan mendidik masyarakat di tempatnya tinggal di Kalimantan agar lebih peduli pada binatang. Semua dia lakukan karena cintanya pada hutan, satwa, karena menyadari pentingnya itu semua dalam kehidupan manusia. Kenapa Chanee melakukannya di Indonesia? Tidakkah dia cinta tanah airnya sendiri? Cinta tanah air tidak dapat diartikan sempit. Cinta pada semua ciptaan Tuhan di atas segalanya. 



Film Garuda Di Dadaku 2 dibuat karena kerja sama banyak orang dengan berbagai latar belakang, baik pendidikan maupun suku juga strata sosial. Si pembuat film -produser, sutradara, penulis skenario- membuat film itu karena cinta tanah air -disamping tentu saja ingin meraup sejumlah uang. Belum lagi daftar pekerja di depan layar maupun di balik layar yang bisa dilihat di sini. Indahnya persatuan dalam perbedaan. Ah, tapi pasti ada yang menjawab: "Itu karena mereka dulunya bersekolah dan belajar PKn atau apapun namanya, sehingga bisa bersatu padu membuat karya yang cinta tanah air." Artinya, anak-anak tidak bersekolah, berupacara dan belajar PKn seperti Fattah tidak bisa membuat karya yang bernuansa rasa cinta tanah air? 

Mari kita beranjak ke ranah lain; ranah kewirausahaan yang tidak ada hubungannya dengan PKn tapi dengan pelajaran ekonomi, manajemen, KTK (Kerajinan Tangan dan Kesenian), tata boga, tata busana, desain, dan lain-lain. Sebutkan produk-produk yang sangat Indonesia! Dari yang berkelas seperti Batik, songket, ukiran jati Jepara; sampai kebutuhan sehari-hari seperit Indomie, sambal botolan, kacang kulit, kerupuk, Teh Botol Sosro, permen jahe, kecap (ABC, Bango, Orang Jual Sate, dan lain-lain), teh dengan beragam merek kecuali tentu saja Lipton, Dilmah, Twinings dan sebangsanya, rokok kretek, juga produk lain yang sudah menembus pasar dunia. Tidak diragukan produk-produk tersebut akan membangkitkan romantisme kerinduan tanah air bahkan menitikkan air mata jika ditemui di manca negara. Jadi membuat, menjual dan akhirnya melestarikan hal-hal yang sangat Indonesia -bandeng presto, asinan, roti gambang, kripik balado, rendang, emping, cuplis, dodol, pempek, soto, kue pastel, kue cucur, bahkan inovasi baru seperti roti unyil, cireng, batagor, cuanki- adalah gegabah bila dikatakan bahwa itu semua bukan manifestasi cinta tanah air.


Anggun Cipta Sasmi penyanyi Indonesia yang beken di luar negeri akhirnya melepaskan paspor hijau Indonesia dan menggantinya dengan paspor Perancis bukan karena tidak lagi  mencintai negara Indonesia. Peraturan yang ribet yang disebabkan lemahnya diplomasi luar negeri Indonesialah yang menyebabkan Anggun terpaksa melepas kewarga-negaraannya. Di dasar hatinya pasti terukir Indonesia di tempat yang paling istimewa di hatinya. Ada beberapa teman yang menikah dengan pria asing yang tetap mempertahankan kewarga-negaraan Indonesia walaupun lebih ribet. Terus apakah bisa kita menghakimi bahwa Anggun tidak cinta tanah air dan teman-teman cinta tanah air? Hanya mereka yang tidak berwawasan luas yang bilang bisa. 


Sebagai orang tua, baik anak itu sekolah di sekolah umum maupun bersekolah di rumah, tidak ada pilihan agar anak dididik untuk mencintai negaranya, tapi juga menghormati dan tahu negara dan budaya lain. Jika makan di luar dan pilihannya adalah ayam goreng, maka pilihannya BUKAN ayam goreng wara laba impor. Di rumah masakan Indonesia dimasak setiap hari. Tentu saja kalau membeli makanan impor akan jauh lebih mahal, tapi bukan itu masalahnya. Orang yang rela membeli produk impor mahal juga bukan serta merta tidak cinta produk lokal. Berbuat baik dan jujur setiap hari. Bekerja keras memanfaatkan waktu yang telah diberikan pada kita dengan dihabiskan untuk sesuatu yang berguna. Menolong, menolong, dan menolong orang lain. Tangan selalu di atas. Malu jadi benalu. Tidak pinjam uang yang akhirnya memberatkan anak cucu. Membuat yang terbaik agar dinikmati generasi ke generasi. Berpikir jauh ke depan dengan mempertimbangkan banyak faktor dan meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. 

PKn BUKAN untuk dihafalkan sebagai penggugur kewajiban agar paling tidak mendapat nilai 5 (lima) dalam UN. Lulus PKn dalam Ujian Nasional bukan jaminan akan jadi nasionalis patriot bangsa yang membela merdeka atau mati. Upacara bendera secara berkala bukan jaminan seseorang jadi nasionalis yang mencintai negara dan rakyatnya. Banyak pegawai dan pejabat yang telah disumpah dengan kitab suci mereka -yang lebih tinggi kedudukan dari pada peraturan, undang-undang dan UUD 1945- untuk mengabdi pada ibu pertiwi tapi akhirnya tunduk bertekuk lutut tak berdaya pada nafsu kebendaannya. Lupa bahwa kedudukannya adalah abdi negara dan pelayan masyarakat; pamong, bukan pangreh. Lupa bahwa seperti kata presiden Philipina Manuel L. Quezon "My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins" -kesetiaanku pada partaiku berakhir ketika kesetiaanku pada negara dimulai. Jadi, bagaimana kita bisa tahu apakah seseorang itu cinta tanah air atau tidak? Never judge a book by its cover -jangan melihat dari kulitnya -apa yang dilakukan- saja. 


Sumber gambar:

- http://danieldokter.wordpress.com/2011/12/12/review-garuda-di-dadaku-2-2011/
- http://www.mikebirkhead.com/GoodMorningKalimantan.htm

Comments

Anonymous said…
Menurutku Garuda didadaku adalah mozaik kecil disebaran produk media yang memetikan semangat kebangsaan. Membaca kupasan MK semacam penguatan atas sudut pandangku. Keep posting Bu Moi!

Damarati
Nan Supranata said…
tulisan yang sangat bagus Bu, ijin posting di FB
Anonymous said…
Berdasarkan pengalaman jaman sekolah dulu, PKN itu sekedar pelajaran teoritis dan hapalan. Bahkan kalau ulangan harian/ulangan umum pelajaran PKN adalah "tulis saja yang baik-baik, pasti nilainya bagus" :)

Popular Posts