Jane Fonda: Life's Third Act - Aksi Kehidupan Ketiga; usia adalah potensi




  • Usia adalah potensi.
  • Paradigma lama: usia seperti busur, semakin tua semakin menurun; paradigma baru: usia seperti anak tangga yang naik; semakin tua semakin bijaksana dan bahagia.
Tidak sengaja berjumpa dengan share Jane Fonda di Tedx Women dan isinya sangat menarik perhatianku. Ini tentang pencarian seorang -tidak harus perempuan, hanya saja eventnya memang khusus untuk perempuan- pada sebuah kehidupan di usia senja. Luar biasa isinya buat aku yang entah bagaimana punya penemuan yang sama dengan apa yang diungkapkan Jane. Siapa Jane Fonda? Buatku dia adalah bukan hanya "guru" exercise dengan Jane Fonda's Workoutnya sejak lebih dari 20 tahun lalu -dan sekarang yoga, tapi juga role model yang bukan hanya seorang aktris handal tapi juga aktivis menentang perang Vietnam. Webnya bisa dibuka di sini. Ini yang dia ucapkan di acara tersebut. Skrip bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia aku ambil dari ted.com.

Life's Third Act

Aksi Kehidupan Ketiga

There have been many revolutions over the last century, but perhaps none as significant as the longevity revolution. We are living on average today 34 years longer than our great-grandparents did. Think about that. That's an entire second adult lifetime that's been added to our lifespan. And yet, for the most part, our culture has not come to terms with what this means. We're still living with the old paradigm of age as an arch. That's the metaphor, the old metaphor. You're born, you peak at midlife and decline into decrepitude. Age as pathology.

Banyak revolusi telah terjadi selama abad terakhir tapi mungkin tidak ada yang lebih penting dari pada revolusi penambahan usia. Saat ini rata-rata kita hidup 34 tahun lebih lama dari pada para buyut kita. Coba pikirkan itu. Itu berarti seluruh kehidupan kedua seorang dewasa telah ditambahkan pada usia kehidupan kita. Akan tetapi dalam banyak hal budaya kita belum memahami arti dari hal ini. Kita masih hidup dengan paradigma lama bahwa usia berbentuk seperti busur. Itulah perumpamaannya; perumpamaan kuno. Anda lahir; mencapai puncak pada saat paruh baya dan menurun pada kelemahan usia tua. Usia sebagai ilmu penyakit.

But many people today --philosophers, artists, doctors, scientists-- are taking a new look at what I call the third act, the last three decades of life. They realize that this is actually a developmental stage of life with its own significance -- as different from midlife as adolescence is from childhood. And they are asking -- we should all be asking -- how do we use this time? How do we live it successfully? What is the appropriate new metaphor for aging?

Tapi banyak orang saat ini -filsuf, seniman, doktor, ilmuwan- mulai memiliki cara pandang pada apa yang saya sebut sebagai aksi ketiga, tiga dekade terakhir dalam kehidupan. Mereka sadar bahwa ini adalah tahap perkembangan kehidupan dengan maknanya tersendiri yang berbeda dari kehidupan paruh baya, seperti masa remaja berbeda dengan masa kanak-kanak. Dan mereka menanyakan -seharusnya kita semua menanyakan- bagaimana kita bisa memanfaatkan waktu ini? Bagaimana kita bisa hidup di dalamnya dengan baik. Apa nama baru yang sesuai untuk penuaan?

I've spent the last year researching and writing about this subject and I have come to find that a more appropriate metaphor for aging is a staircase -- the upward ascension of the human spirit, bringing us into wisdom, wholeness and authenticity. Age not at all as pathology; age as potential. And guess what? This potential is not for the lucky few. It turns out, most people over 50 feel better, are less stressed, are less hostile, less anxious. We tend to see commonalities more than differences. Some of the studies even say we're happier.

Saya menghabiskan setahun terakhir untuk meneliti dan menulis tentang hal ini dan saya menemukan perumpamaan yang lebih sesuai untuk penuaan adalah anak tangga -gerakan peningkatan dari jiwa seseorang yang membawa kita pada kebijaksanaan, keutuhan dan kesejatian. Usia sama sekali bukanlah ilmu penyakit; usia adalah potensi. Dan coba tebak? Potensi ini bukan hanya untuk sebagian orang yang beruntung. Ternyata, kebanyakan orang di atas 50 tahun merasa lebih baik, berkurang stressnya, lebih ramah dan lebih tenang. Mereka cenderung melihat kesamaan ketimbang perbedaan. Beberapa kajian bahkan mengatakan mereka lebih bahagia.


This is not what I expected, trust me. I come from a long line of depressives. As I was approaching my late 40s, when I would wake up in the morning my first six thoughts would all be negative. And I got scared. I thought, oh my gosh. I'm going to become a crotchety old lady. But now that I am actually smack-dab in the middle of my own third act, I realize I've never been happier. I have such a powerful feeling of well-being. And I've discovered that when you're inside oldness, as opposed to looking at it from the outside, fear subsides. You realize, you're still yourself -- maybe even more so. You know Picasso once said, "It takes a long time to become young."

Percayalah, saya tidak pernah mengira hal ini akan terjadi sebelumnya. Saya lahir dari garis keturunan yang penuh dengan masalah depresi. Saat usia saya mendekati akhir umur 40an, saat bangun di pagi hari enam hal pertama yang saya pikirkan semuanya negatif, dan saya menjadi takut. Saya pikir, astaga, saya akan menjadi wanita tua yang menyebalkan. Tapi sekarang saat saya berada di tengah aksi ketiga saya, saya menyadari tidak pernah sebahagia ini. Saya memiliki kekuatan penuh pada kehidupan saya, dan saya menemukan saat Anda berada di usia tua, berbeda dengan jika melihatnya dari luar, ketakutan mereda. Anda sadar, Anda masih menjadi diri sendiri -bahkan mungkin lebih lagi. Picasso pernah berkata, "Butuh waktu yang lama untuk menjadi muda."

I don't want to romanticize aging. Obviously, there's no guarantee that it can be a time of fruition and growth. Some of it is a matter of luck. Some of it, obviously, is genetic. One third of it, in fact, is genetic. And there isn't much we can do about that. But that means that two-thirds of how well we do in the third act, we can do something about. We're going to discuss what we can do to make these added years really successful and use them to make a difference.

Saya tidak mau meromantisasikan penuaan. Jelas tidak ada jaminan bahwa saat itu bisa menjadi waktu untuk menghasilkan dan tumbuh. Sebagian didapat karena keberuntungan. Sebagian, sudah jelas, karena keturunan. Sebenarnya sepertiga adalah dari garis keturunan; tidak banyak yang bisa kita lakukan tentang hal tersebut. Tapi itu berarti bahwa kita bisa mengusahakan dua pertiga bagian dari seberapa baik dapat kita lakukan pada aksi ketiga hidup. Kita akan bicara tentang apa yang bisa kita lakukan untuk menjadikan tahun tambahan ini menjadi berhasil dan menggunakan itu untuk membuat perubahan.

Now let me say something about the staircase, which may seem like an odd metaphor for seniors given the fact that many seniors are challenged by stairs; myself included. As you may know, the entire world operates on a universal law: entropy, the second law of thermodynamics. Entropy means that everything in the world, everything, is in a state of decline and decay, the arch. There's only one exception to this universal law, and that is the human spirit, which can continue to evolve upwards -- the staircase -- bringing us into wholeness, authenticity and wisdom.

Sekarang saya akan mencoba menjelaskan tentang tangga, yang tampaknya sebuah perumpamaan yang aneh untuk orang tua melihat kenyataan bahwa banyak orang tua sulit mendakinya; termasuk saya sendiri. Seperti yang anda tahu, seluruh bumi bekerja menggunakan hukum universal: entropi, hukum kedua dari termodinamika. Entropi berarti bahwa semua yang ada di dunia, semuanya, dalam keadaan menurun dan menjadi rusak, sebuah busur. Hanya ada satu pengecualian dalam hukum universal ini, yaitu jiwa manusia yang bisa terus berkembang ke atas -layaknya tangga- membawa kita pada keutuhan, kesejatian dan kebijaksanaan. 

And here's an example of what I mean. This upward ascension can happen even in the face of extreme physical challenges. About three years ago, I read an article in the New York Times. It was about a man named Neil Selinger -- 57 years old, a retired lawyer --who had joined the writers group at Sarah Lawrence where he found his writer's voice. Two years later, he was diagnosed with ALS, commonly known as Lou Gehrig's disease. It's a terrible disease. It's fatal. It wastes the body, but the mind remains intact. In this article, Mr. Selinger wrote the following to describe what was happening to him. And I quote, "As my muscles weakened, my writing became stronger. As I slowly lost my speech, I gained my voice. As I diminished, I grew. As I lost so much, I finally started to find myself." Neil Selinger, to me, is the embodiment of mounting the staircase in his third act.
Dan ini adalah satu contoh dari yang saya maksudkan. Pendakian ini bisa terjadi bahkan saat menghadapi tantangan fisik yang ekstrim. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, saya membaca artikel di New York Times tentang seorang pria bernama Neil Selinger -seorang pensiunan pengacara berusia 57 tahun- yang bergabung dengan grup penulis di Sarah Lawrence dimana dia menemukan panggilan hatinya untuk menulis. Dua tahun kemudian dia didiagnosa menderita ALS, yang dikenal dengan penyakit Lou Gehrig; sebuah penyakit yang mengerikan dan fatal. Penyakit ini  melumpuhkan badan, tapi pikiran tetap utuh. Dalam artikel ini bapak Selinger menulis hal yang terjadi pada dirinya. Saya kutip, "Walaupun otot saya melemah, tulisan saya menjadi lebih kuat. Walaupun saya tidak bisa bicara lagi, saya mendapatkan pendapat saya. Walaupun saya menghilang, saya tumbuh. Walaupun saya kehilangan banyak, tapi akhirnya saya mulai menemukan diri saya." Bagi saya, Neil Selinger adalah perwujudan dari peningkatan anak tangga dalam aksi ketiganya.

Now we're all born with spirit, all of us, but sometimes it gets tamped down beneath the challenges of life, violence, abuse, neglect. Perhaps our parents suffered from depression. Perhaps they weren't able to love us beyond how we performed in the world. Perhaps we still suffer from a psychic pain, a wound. Perhaps we feel that many of our relationships have not had closure. And so we can feel unfinished. Perhaps the task of the third act is to finish up the task of finishing ourselves.

Kita semua lahir dengan jiwa -tapi sering kali jiwa itu menjadi tertekan di bawah tantangan hidup, kekerasan, penyiksaan, kelalaian. Mungkin orang tua kita menderita depresi. Mungkin mereka tidak sanggup mencintai kita tanpa memandang bagaimana pencapaian kita di dunia ini. Mungkin kita masih menderita karena luka batin, luka hati. Mungkin kita merasa bahwa beberapa hubungan kita tidak berakhir dengan baik sehingga kita merasa tidak tuntas. Mungkin tujuan dari aksi ketiga adalah menyelesaikan tugas dalam menuntasan diri sendiri.

For me, it began as I was approaching my third act, my 60th birthday. How was I supposed to live it? What was I supposed to accomplish in this final act? And I realized that, in order to know where I was going, I had to know where I'd been. And so I went back and I studied my first two acts, trying to see who I was then, who I really was -- not who my parents or other people told me I was, or treated my like I was. But who was I? Who were my parents -- not as parents, but as people? Who were my grandparents? How did they treat my parents? These kinds of things.

Bagi saya hal itu dimulai saat saya mendekati aksi ketiga saya, pada ulang tahun saya yang ke 60 tahun. Bagaimana saya harus menjalaninya? Apa yang seharusnya saya capai dalam aksi terakhir saya? Dan saya sadar, untuk tahu ke mana arah saya, saya harus tahu dimana saya pernah berada. Jadi saya mempelajari dua aksi pertama saya, mencoba melihat siapa saya sebelumnya, siapa saya sesungguhnya -bukan bagaimana perkataan atau perlakuan orang tua dan orang lain tentang diri saya. Tapi siapakah saya? Siapa orang tua saya -bukan sebagai orang tua tapi sebagai manusia? Siapa kakek dan nenek saya? Bagaimana mereka memperlakukan orang tua saya? Hal-hal seperti itu.

I discovered a couple of years later that this process that I had gone through is called by psychologists "doing a life review." And they say it can give new significance and clarity and meaning to a person's life. You may discover, as I did, that a lot of things that you used to think were your fault, a lot of things you used to think about yourself, really had nothing to do with you. It wasn't your fault; you're just fine. And you're able to go back and forgive them and forgive yourself. You're able to free yourself from your past. You can work to change your relationship to your past.

Saya temukan beberapa tahun setelahnya bahwa proses yang telah saya lalui ini dikenal oleh psikolog sebagai "melakukan tinjauan hidup". Dan mereka berkata itu bisa memberikan arti, kejelasan, dan makna baru dalam hidup seseorang. Sama seperti saya, Anda akan menemukan bahwa banyak hal yang pernah Anda pikirkan adalah kesalahan Anda; banyak hal yang Anda dulunya sering pikir tentang diri Anda sendiri, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Anda. Ini bukan salah Anda; Anda baik-baik saja. Dan Anda mampu untuk kembali dan memaafkan mereka lalu memaafkan diri Anda sendiri. Anda mampu untuk membebaskan diri Anda dari masa lalu Anda. Anda dapat berusaha untuk mengubah hubungan dengan masa lalu Anda.

Now while I was writing about this, I came upon a book called "Man's Search for Meaning" by Viktor Frankl. Viktor Frankl was a German psychiatrist who'd spent five years in a Nazi concentration camp. And he wrote that, while he was in the camp, he could tell, should they ever be released, which of the people would be okay and which would not. And he wrote this: "Everything you have in life can be taken from you except one thing: your freedom to choose how you will respond to the situation. This is what determines the quality of the life we've lived --not whether we've been rich or poor, famous or unknown, healthy or suffering. What determines our quality of life is how we relate to these realities, what kind of meaning we assign, what kind of attitude we cling to about them, what state of mind we allow them to trigger."

Saat saya menulis tentang hal ini saya menemukan buku berjudul "Seorang Mencari Arti Hidup" tulisan Victor Frankl. Victor Frankl adalah psikiater Jerman yang pernah hidup dalam barak konsentrasi Nazi selama lima tahun. Dia menulis bahwa selama dia disana dia bisa tahu apakah mereka akan dilepaskan, mana dari mereka yang akan baik-baik saja dan mana yang tidak. Dia menuliskan hal ini: "Semua hal dalam hidup Anda bisa diambil dari Anda kecuali satu hal: kebebasan Anda untuk memilih bagaimana anda menghadapi keadaan yang ada. Ini adalah hal yang menentukan kualitas hidup yang selama ini kita jalani -bukan dari apakah kita kaya atau miskin, terkenal atau tidak, sehat atau sakit. Apa yang menentukan kualitas hidup kita adalah bagaimana kita terhubung dengan kenyataan ini, arti apa yang kita berikan padanya, perilaku apa yang kita lekatkan pada hal itu, keadaan pikiran bagaimana yang bisa memicu hal itu."

Perhaps the central purpose of the third act is to go back and to try, if appropriate, to change our relationship to the past. It turns out that cognitive research shows when we are able to do this, it manifests neurologically -- neural pathways are created in the brain. You see, if you have, over time, reacted negatively to past events and people, neural pathways are laid down by chemical and electrical signals that are sent through the brain. And over time, these neural pathways become hardwired, they become the norm -- even if it's bad for us because it causes us stress and anxiety.

Mungkin tujuan utama dari aksi ketiga adalah kembali dan mencoba, jika itu hal yang tepat, untuk mengubah hubungan kita dengan masa lalu. Ternyata penelitian kognitif menunjukkan saat kita bisa melakukan hal ini, hal itu terwujud dalam sistem syaraf -jalur syaraf yang tercipta di dalam otak. Anda lihat jika Anda pernah, sejalan dengan waktu, bereaksi secara negatif pada peristiwa dan orang di masa lalu, jalur syaraf dibentuk oleh sinyal kimia dan elektronik yang dikirim melalui otak. Dan seiring dengan waktu, jalur syaraf ini menjadi terhubung dan menjadi norma bahkan walau hal itu tidak baik untuk kita karena ini menimbulkan stress dan kegelisahan.

If however, we can go back and alter our relationship, re-vision our relationship to past people and events, neural pathways can change. And if we can maintain the more positive feelings about the past, that becomes the new norm. It's like resetting a thermostat. It's not having experiences that make us wise, it's reflecting on the experiences that we've had that makes us wise -- and that helps us become whole, brings wisdom and authenticity. It helps us become what we might have been.

Namun bila kita dapat kembali dan merubah hubungan kita; menatap ulang hubungan kita pada orang-orang dan peristiwa-peristiwa di masa lampau, jalur syaraf dapat berubah. Dan jika kita lebih dapat memelihara perasaan positif tentang masa lampau; hal  itu dapat menjadi norma baru. Hal ini seperti menyetel ulang alat pengatur suhu. Bukan pernah mengalami yang membuat kita bijaksana; melainkan merefleksikan pengalaman-pengalaman yang kita milikilah yang membuat kita bijaksana -dan itu akan membantu kita menjadi utuh dan membawa kebijaksanaan dan kesejatian. Hal ini membantu menjadi seseorang yang seharusnya. 

Women start off whole, don't we? I mean, as girls, we start off feisty -- "Yeah, who says?" We have agency.We are the subjects of our own lives. But very often,many, if not most of us, when we hit puberty, we start worrying about fitting in and being popular. And we become the subjects and objects of other people's lives. But now, in our third acts, it may be possible for us to circle back to where we started and know it for the first time. And if we can do that, it will not just be for ourselves. Older women are the largest demographic in the world. If we can go back and redefine ourselves and become whole, this will create a cultural shift in the world, and it will give an example to younger generations so that they can reconceive their own lifespan.
Thank you very much.

Perempuan selalu ingin sempurna, bukan? Maksud saya, sebagai remaja kita selalu penuh semangat -"Ya, kata siapa?" Kita mempunyai sebuah agensi. Kita adalah subyek dari kehidupan kita sendiri. Tapi sangat sering, banyak dari kita -kalau tidak sebagian besar- saat menginjak akil balig mulai khawatir tentang bagaimana beradaptasi dan menjadi populer. And kita menjadi subyek dan obyek dari kehidupan orang lain. Namun kini dalam aksi ketiga kita dimungkinkan untuk kembali ke tempat kita memulai dan mengerti untuk pertama kalinya. Dan jika kita dapat melakukannya, kita bukan melakukannya untuk diri kita semata. Perempuan paruh baya adalah populasi terbesar di dunia. Bila kita bisa kembali dan mendefinisikan diri kita sendiri dan menjadi utuh, hal ini akan menciptakan perubahan budaya di dunia. Dan ini akan memberikan contoh bagi generasi muda sehingga mereka bisa memikirkan kembali jangka hidup mereka sendiri. Terima kasih banyak. 

Comments

Popular Posts