One Fine Wednesday. Satu Rabu Yang Seru.

Ada hari panjang yang "biasa saja", dan ada hari yang panjang tapi tidak sesuai rencana kita. Semuanya tetap bisa diambil hikmahnya. Jadi seharusnya disikapi dengan biasa-biasa saja. Ini sebetulnya nasehat terhadap diri sendiri yang sering ngotot kalau hal-hal terjadi tidak sesuai yang dibayangkan di kepala. Setiap kejadian itu selalu dapat diambil hikmahnya. Kejadian hari itu, Rabu, 20 Agustus 2014, membuatku merenung betapa kecil dan tidak berdayanya aku, dan begitu bergantungnya aku pada kebaikan banyak mahluk lain, baik yang aku kenal baik, kurang akrab, maupun yang belum kenal sama sekali. 

Pramuka, salah satu kegiatan Klub Oase.
Foto milik ibu Ari Peach
Rabu itu kami berangkat dari rumah jam 05:30 untuk beberapa agenda di seputaran Tangerang, Depok, dan Jakarta. Diawali dengan menggoreng pisang kepok dilumuri adonan tepung beras campur tepung mocaff untuk dibuat pisang goreng tabur keju Cheddar sebagai bekal, kami pun mulai bersiap. Tujuan pertama adalah menitipkan Fattah pada satu keluarga agar dia dapat hadir di acara kumpul bocah Klub Oase yang diadakan setiap hari Rabu. Rabu kemarin adalah kumpul untuk pembukaan acara Pramuka termin baru yang diadakan di kediaman salah satu orang tua homeschooler, ibu Ari Peach di daerah Kayu Putih.



Tujuan pertama kami adalah Depok. Ada dua keluarga yang jadi sasaran untuk menitipkan Fattah, yaitu satu, keluarga Wijaya yang tinggal di sekitar Alam Sutera, Serpong; satu lagi, keluarga Setiawan yang tinggal di daerah Kukusan, Depok. Jadi, kalau dalam perjalanan ke Depok kami tidak bisa menitipkan Fattah ke keluarga Wijaya, masih ada back-up titip Fattah yaitu ke keluarga Setiawan.



Sejak sehari sebelumnya aku sudah whatsapp dengan dua ibu: Lia Wijaya dan Ade Setiawan untuk berbagai kemungkinan. Saat whatsapp itu, sepertinya sudah lebih pasti akan titip pada Lia. Kami bertemu di rest area sebelum pintu tol Karang Tengah jika berkendara dari arah Merak. Tapi, tiba-tiba Lia mengubah rencana karena suaminya, Aji, harus berangkat lebih pagi dari rencana sebelumnya. Akibatnya kalau kami ingin tetap menitipkan Fattah pada mereka, maka kami harus berada di rest area yang dimaksud pada jam 6:30 pagi karena mereka akan berangkat dari rumah jam 6:00! OMG! Kami enggan mengubah jadwal berangkat menjadi lebih pagi lagi. Untuk berada di rest area pada jam yang disarankan Lia sungguh misi yang tidak mungkin, terutama mengingat keadaan lalu lintas ke arah Jakarta di hari kerja. Itu betul-betul seperti misi pungguk merindukan bulan.


Akhirnya aku whatsapp ke pilihan kedua yaitu Ade untuk berjumpa di Depok. Ade berencana akan berangkat jam 9:00 untuk hadir di acara yang memang baru mulai jam 10:00. Kalau Ade berangkat jam 9:00 sementara jika kami sudah sampai Depok sekitar jam 8:00, mau ketemu di mana, dan sebagainya. Kami akan menuju ke sekitar jalan Margonda tempat kos Fari dan Amira, mau mengantar barang titipan mereka dari rumah, mengambil barang, dan sekalian menjemput Amira untuk keperluan di Jakarta. Ade mengusulkan bagaimana kalau kami ke rumahnya saja.

Rumah keluarga Setiawan berada di daerah yang dikenal dengan sebutan Kutek -Kukusan Teknik. Disebut demikian karena daerah Kukusan itu dekat dengan fakultas teknik UI. Saat pertama diterima di UI, Amira pernah kos di daerah itu walaupun sedikit jauh dari dan menuju ke kampusnya di FIB. Amira pilih daerah itu karena pilihan tempat kos saat itu terbatas untuk kami yang baru mengenal kota Depok. Terus terang setiap harus ke Depok, aku seperti kena serangan Klaustrofobia karena jalan-jalannya yang sempit namun disesaki banyak bangunan dan penduduk. Aku tak habis pikir bagaimana penataan ruang di kota itu dapat lolos dari seleksi dinas tata ruang. Sungguh sangat tidak manusiawi mengingat manusia itu tentu punya ruang gerak sehat minimum. Dari tempat kos Amira yang sekarang menuju rumah keluarga Setiawan, kalau dijalani dengan mobil maka cukup panjang dan berliku terutama setelah perjalanan panjang dari Cilegon. Sungguh membayangkannya saja sudah terkena serangan Klaustrofobia. Tapi, kalau itu yang harus dipilih, ya apa boleh buat. Janjian dengan Ade pun selesai.

Pada hari-H, kami berangkat sesuai rencana yaitu jam 05:30. Senang dan puas rasanya jika berhasil menepati janji pada diri sendiri untuk tepat waktu. Syukurlah jalanan dari pintu tol Cilegon Timur lancar. Ketika jam menunjukkan lewat dari jam 6:00, iseng aku whatsapp Lia menanyakan apakah dia sudah berangkat. Lia tak kunjung menjawab, dan baru menjawab jam 6:15 serta mengatakan bahwa mereka baru berangkat. Karena aku melihat ada kemungkinan untuk kami bisa ketemu di rest area, aku mengusulkan apakah ada kemungkinan seperti itu. Ternyata kami saat itu berada di tempat yang tidak berjauhan, dan kemungkinan untuk berjumpa di rest area sangat mungkin. Syukurlah.

Buku tulisan Lia ;-)
Salah satu misi lain saat berjumpa Lia adalah ingin mengambil buku pesananku. Lia baru-baru ini mengeluarkan buku catatan hariannya tentang pengasuhan putra mereka Abimanyu. Buku itu berjudul Day By Day With My Son. Aku sudah lama memesan dan sebetulnya bisa saja dikirim. Tapi karena kami sering mampir ke Pasar Delapan, Alam Sutera, dan rumah mereka tidak jauh dari sana, aku menawarkan opsi untuk copy darat sambil ambil buku dan silaturahmi. Namun sejauh ini acara itu tidak pernah terlaksana karena ini dan itu. Senang akhirnya jumpa sekaligus mengambil buku.

Singkat cerita kami sampai di rest area sekitar 2-3 menit sebelum keluarga
Abimanyu 5 tahun & Fattah 10 tahun
Foto milik Lia Wijaya
Wijaya tiba. Serah terima Fattah dan buku berlangsung. Abi, putra sementara ini semata wayang keluarga Wijaya dengan spontan dan lucu bilang kalau hari itu ulang tahun papa Aji. Saat ditanya ada kue ulang tahun apa tidak, Abi jawab tidak, adanya donat! 
Wah, anak-anak memang lucu, spontan, dan pintar. Lalu kami berpisah. Kami menuju Depok, dan mereka ke Jakarta.

Hari itu untuk kali pertama kami mencoba tol baru langsung dari masuk tol di sekitar Puri Indah langsung menyambung ke tol Bintaro - JORR yang biasa kami lalui, tapi harus keluar Tangerang, lalu lewat BSD (Bumi Serpong Damai), baru masuk ke tol tersebut. Lalu lintas cukup sepi. Kami tiba di depan kos Amira sekitar jam 7:30 lebih sedikit. Fari, yang berangkat kantor pukul 7:30 sudah pergi dan kami hanya bisa berkomunikasi via whatsapp. Fari dan Amira sama-sama kos di sekitar jalan Margonda tapi berbeda gang. Jarak ke duanya hanya sekitar 5-7 menit jalan kaki.


Ketika kami parkir di dekat kos Amira, terdengar suara yang aneh dari arah roda kanan belakang. Aku cerita pada suamiku Ican bahwa aku juga merasakannya hal yang sama sehari sebelum hari itu pada waktu mengambil mobil dari tempat cuci mobil dekat rumah. Terasa seperti roda diganjal sesuatu, atau seperti rem tangan belum dilepas. Saat dimasukkan gigi berjalan, terasa ada yang mengganjal. Namun, mobil dapat berjalan lagi seperti biasa, bahkan dipakai menembus kemacetan Depok menuju Thamrin City, tempat ke mana kami ingin pergi pagi itu dengan bantuan aplikasi Waze yang memberitahukan pada penggunanya untuk menghindari titik-titik macet. Di perjalanan di sekitar Pasar Minggu, sebuah Freed terlalu ke tengah dan menabrak spion kanan mobil kami sampai lepas kacanya dari rumah spion itu. Ican menepi dan turun untuk memasukkan kaca spion ke dalam rumahnya. Cukup keras juga rupanya. Phew. 

Kurang lebih jam 10 kami tiba di Thamrin City, sesuai dengan perjanjianku via
Surya Kencana, Batik Lasem
BBM dengan Nanik Indrawati pemilik rumah batik Lasem Surya Kencana. Seperti dua kunjungan sebelumnya, kami parkir di gedung parkir lantai 5, di dekat daerah yang bernama Pasar Tasik. Ini pertama kalinya aku akan berjumpa Nanik setelah beberapa saat komunikasi dengannya. Pertama kali ke tokonya, aku berjumpa dengan suaminya. Mereka menjual batik tulis dan cap Lasem. Menurut sang suami, mertuanya -ibu dari Nanik- adalah pembatik termasuk tertua di Lasem. Suami Nanik juga memberi tahu apa ciri khas batik Lasem, bagaimana jenis yang halus, dan menunjukkan beberapa batik yang usianya di atas 100 tahun. Karena kesabaran menjawab pertanyaan kamilah maka kami jadi tertarik untuk membuat baju di tokonya.



Ceritanya, hari Jumat tanggal 28 Agustus, Amira akan diwisuda; dan hari Sabtu tanggal 29 Agustus, giliran Fari yang akan diwisuda. Aku terpikir untuk membuat baju kembaran kami berlima. Karena ada dua peristiwa istimewa, aku ingin memesan dua stel kembar lima. Aku mau yang etnis yang tentu saja salah satu pilihannya adalah batik -beragam dari banyak daerah di Jawa. Kunjungan pertama hanya lihat-lihat saja. Kunjungan ke dua lebih untuk mencari, yang akhirnya bertemu dengan batik Lasem Surya Kencana ini. Tidak mudah kalau tidak memiliki reverensi toko. Cari di internet juga tidak membuahkan hasil. Jadi saat bertemu dengan batik Lasem Surya Kencana yang terletak di lantai dasar 1 itu, sreg dengan yang jual, aku putuskan untuk memesan padanya.


Karena waktu yang sudah mepet, tidak mungkin bagi Nanik untuk membuatkan pola baru untuk kami. Buat para pria, pilihannya mudah, cukup kemeja saja. Buat aku dan Amira, kami akan pilih model baju yang sudah tersedia saja. Amira memilih baju one-piece biasa dan dia ingin baju tanpa lengan karena wisuda di siang hari dan akan sangat panas. Baiklah, aku pun setali tiga uang dengan pilihan Amira. Tidak harus kebaya, karena batik pun Indonesia. Aku dan Amira memilih dua model baju; ada satu baju yang kami bermodel sama. Aku biarkan Amira yang lebih dahulu memilih modelnya. Kami diberi beberapa pilihan motif bahan. Kami pilih batik tulis. Motifnya tentunya kami suka. Amira tidak mau pilih warna pink, karena menurutnya pasti banyak warna pink di hari wisuda itu. Ha, ha, ha, anakku itu memang bukan "pinkish type". 

Saat memilih milah motif kain, model baju, mengepas kemeja dan baju; dua orang dari tiga asisten Nanik yang semuanya perempuan pamit untuk pergi. Waktu aku tanya kemana, rupanya mereka hari itu akan ujian paket C. Wah, kog Tuhan membawa aku pada situasi seperti ini? Aku tidak sempat bertanya banyak pada mbak-mbak itu, tapi aku sempat minta untuk suatu kali tanya-tanya pada mereka tentang proses paket C yang mereka ikuti. Aku juga bilang pada mereka bahwa Fari dan Amira juga lulusan paket C. Saat mereka sudah pergi, Nanik cerita bahwa untuk program itu asisten-asistennya itu harus menabung. Nanik sebutkan jumlah yang di atas Rp.1.500.000. Jumlah pastinya dia lupa. Tapi aku betul-betul ingin tahu tentang hal ini. Kasihan sekali orang-orang seperti asisten Nanik yang nota bene orang tidak mampu, diminta jutaan Rupiah untuk menempuh pendidikan dasar yang seharusnya hak dan gratis.

Cerita bersambung menjadi diskusi, atau lebih tepatnya uraian kami tentang apa itu homeschooling karena pertanyaan-pertanyaan yang Nanik utarakan dari pengetahuannya tentang satu homeschooling yang bertarif Rp.3.000.000 per bulan, dan lain-lain. Kurang lebih tiga puluh menit dihabiskan untuk tanya jawab tentang homeschooling. Amira dan suamiku ikut serta dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Nanik. Aku selalu senang memberi penerangan pada banyak orang bahwa homescholing itu keluarga, BUKAN lembaga.

Selesai pilih motif batik, model baju, sepakat untuk jadi minggu depan, bayar, dan janjian minggu depan apakah Amira yang ambil hari Rabu atau Kamis, atau kami yang ambil di hari Jumat; tibalah saat makan. Jam menunjukkan di angka 11:30, kami ke lantai food court di Thamrin City. Aku dan Amira memilih masakan Menado -bunga pepaya, ikan tongkol suwir, perkedel jagung, dan sambalnya yang semua slurp; sementara suamiku, seperti tidak ada pilihan lain saja, pilih masakan Padang, ha, ha, ha.

Kakak pembina & anggota Pramuka Klub Oase.
Foto milik Ade Setiawan.
Di tengah acara memilih bahan, model, mengukur, dan lain-lain, celoteh anggota grup Klub Oase di whatsapp juga sambung menyambung tentang perjalanan mereka masing-masing sampai akhirnya mereka sampai di lokasi berkumpul. Beberapa foto kegiatan yang dilakukan anak-anak Klub Oase di acara Pramuka pun mulai berdatangan di whatsapp; ada permainan, ada yang berulang tahun, makan siang, sampai akhirnya tentu ditutup dengan acara renang bersama. Tak sabar ingin bergabung.

Perut kenyang, tujuan kami selanjutnya adalah jalan Kayu Putih untuk berjumpa dengan teman-teman homeschooling, dan menjemput Fattah. Setelah mesin menyala dan akan bergerak, mobil kembali susah maju. Saat masuk gigi mundur, tidak ada masalah; tapi saat maju terasa tersendat. Juru parkir mendekat dan berkata kalau roda kanan belakang tidak mau berputar. Aku keluar untuk melihat Ican mengendalikan mobil, dan memang roda kanan belakang berputar sedikit dan diam. Dengan segala usaha, kami berusaha meminggirkan mobil kami -KIA Carens II keluaran tahun 2004, agar tidak mengganggu pengunjung lain. Beruntung kami dapat tempat yang tidak menghalangi mobil-mobil lain.

Usaha pertama adalah mencari pertolongan. Petugas parkir menyarankan bahwa di dekat sana ada bengkel Auto 2000 dan siapa tahu montirnya mau menolong kami. Suamiku ke sana dan pulang dengan tangan hampa karena Auto 2000 yang pemegang merk Toyota tentu saja tidak mau melayani dan membantu mobil dengan merek lain. Oke. Usaha lain, bertanya apakah bursa mobil di lantai 6 juga menjual spare part kendaraan yang biasanya ada montir berkeliaran di sana. Ternyata itu hanya bursa mobil bekas dan tidak ada penjual spare part.

Ican curiga bahwa rem mobil macet sehingga mempengaruhi roda. Dia mulai mengambil dongkrak, membuka roda kanan belakang, mencoba membuka rumah roda dengan peralatan seadanya, dan seperti diduga, tidak berhasil terbuka. Dengan maksud untuk mencari informasi, aku mencoba menghubungi beberapa grup whatsapp untuk bertanya apakah ada yang punya kenalan montir yang bisa datang ke Thamrin City. Aku juga mencoba inbox facebook beberapa teman, dan menelepon beberapa teman. Sebagian besar memberi tips bagaimana memecahkan masalahku. Ada yang bilang rem tangan ditarik dan dilepas berulang-ulang yang sudah kami lakukan sejak tadi. Temanku Ratna, tinggal di perbatasan Jakarta - Tangerang sebetulnya berhasil menghubungi montir di bengkel dekat rumahnya. Hanya sayangnya si montir tidak tahu di mana Thamrin City. 

Amira yang masih bersama kami mencoba googling servis KIA. Setelah dapat beberapa nomor, Ican pertama mencoba menghubungi service hotline KIA karena namanya yang hotline itu. Sayangnya nomor itu tidak diangkat. Ican mencoba hubungi customer service. Sayangnya nomor itu juga tidak diangkat. Pilihan ke tiga jatuh ke KIA Guard yang dijawab oleh seseorang bernama Hendra. Dijawab agar ban jangan dilepas, dipasang kembali dan diketok-ketok rumah rodanya. Pihak KIA Guard tidak bisa menjanjikan untuk datang ke kami, tapi berjanji untuk memandu. Sebetulnya aneh juga kalau pihak KIA tidak bisa datang, padahal keadaan mobil kami tidak memungkinkan untuk berangkat ke tempat servis karena roda yang tidak bergerak. Ican berusaha mengetok-ngetok rumah roda, menyalakan mesin, mencoba maju mundur. Beberapa saat setelah mengetok-ketok, mundur makin lancar, tapi maju masih tetap terhenti walaupun sekarang sudah makin panjang berjalan majunya.

Amira juga sambil googling dimana stasiun kereta terdekat. Waktu pertama kali ke Thamrin City dengan Fari, saat mau kembali ke Depok dengan kereta, tak sengaja kami lewat stasiun Karet. Amira lebih siap lagi dengan Googlenya. Stasiun Karet cuma 500 meter dari Thamrin City dan keretanya cuma ada setiap jam saja. Ketinggalan kereta berarti harus menunggu sejam lagi; sungguh tidak enak. Jam 14 kurang, Amira pamit untuk mengejar kereta. Tinggallah kami berdua.

Kuatir masalah mobil ini panjang, aku berkomunikasi dengan Lia secara pribadi dan grup whatsapp Klub Oase pada umumnya. Aku meminta tolong Lia untuk membawa Fattah ke rumahnya saja dan kami janjian untuk saling ketemu di rumahnya. Aku sempat berkomunikasi dengan Fattah via telepon genggamnya, menceritakan keadaan kami, memintanya untuk ikut tante Lia, aku dan bapaknya jemput di rumah Abi, anak keluarga Wijaya. Lia menawarkan diri apakah mereka perlu menjemput kami kalau-kalau mobil ternyata harus bermalam. Wah, Lia sungguh baik. Walau pun sebetulnya ragu, aku bilang insya Allah mobil tidak perlu bermalam. Syukurlah masalah Fattah sudah terpecahkan.

Dari inbox facebook, salah satu temanku Greysia mengusulkan untuk keluar Thamrin City karena di sekitar sana banyak bengkel. Ah, kenapa tidak terpikir sebelumnya? Bodoh, sungguh bodoh. Ibu dari Greysia pernah berjualan kue di Pasar Senen dan mereka tinggal di Jakarta, jadi aku percaya informasi darinya. Aku tanya petugas parkir apakah dia tau bengkel di dekat situ, tapi si petugas juga tidak tahu. Aku ajukan usul Greysia pada Ican, dan dia setuju. Untuk menghemat tenaga, Ican usulkan hanya dia yang ke luar mencari montir, sementara aku tinggal di Thamrin City, walaupun aku ingin juga ikut dia.

Akhirnya kami berpisah. Sekitar 15 menit kemudian aku terima whatsapp dari Ican bahwa dia dapat montir. Alhamdulillah. Sedikit lega, aku yang tadinya hanya duduk sambil tetap whatsapp dengan teman-teman, memutuskan untuk belanja bulanan yang sebenarnya sudah dijadwalkan hari itu. Di lantai 1 ada Hypermart, dan aku punya dua voucher masing-masing Rp.50.000 dari kantor Ican sebagai salah satu bonus Lebaran. Saat hendak jalan ke sana, aku lihat Ican yang sedang berjalan ke lahan parkir. Ican minta uang tunai yang aku pegang untuk jaga-jaga karena dia sering tidak pegang terlalu banyak uang.

Belanja di Hypermartlah aku. Salah satu keluhanku pada Hypermart adalah trolinya rodanya yang centang perenang dan sulit dikendalikan. Hal ini sering aku jumpai di Cilegon dan ternyata juga di Thamrin City. Keluhan lain adalah AC-nya yang sayup-sayup tak sampai dan membuat aku -yang mudah keringatan karena hot flush menopause ini- makin berkeringat karena sulitnya mengendalikan troli, dan panasnya ruang ber-AC minim. Mencoba ganti troli ternyata yang lain tak kurang seretnya. Ini membuat sulit saat harus mendorong ke lift, padahal saat belanjaan diangkat berat juga.

Saat belanja, aku dapat whatsapp dari Ican mengabarkan tentang kondisi mobil setelah dilihat montir. "Kampas rem lepas jadi terselip setiap ban berputar ke depan. Sekarang si montir sedang beli di Palmerah," demikian terbaca. Ican juga minta aku tarik uang lagi. Setelah tarik uang, aku bergerak ke parkiran dengan troli Hypermart yang seperti anak manja digeret ibunya. Sampai di lantai 5 di mana mobil kami diparkir, tak tahan lagi dengan troli yang jalan ogah-ogahan itu, akhirnya aku tinggal saja dan aku angkat belanjaan seberat kurang lebih masing-masing 2,5-3 kg.

Episode paling lama adalah menunggu si montir pulang dari Palmerah. Montir yang datang itu dua orang montir adik kakak. Perlu dua? Ya, karena buka rumah roda itu tidak mudah, dan montirnya juga tidak muda lagi! Sambil menunggu kami ngobrol dengan si adik yang tinggal di lokasi, sementara di kakak dengan naik motornya pergi ke Palmerah. Mereka orang Betawi dan aslinya tinggal di Kuningan. Kuningan? Tidak mungkin Kuningan yang dekat Cirebon tentunya. Ini Kuningan yang daerah jalan Rasuna Said sekarang, yang termasuk daerah segitiga platina, bukan emas lagi. Tanah dijual saat masih murah. Si adik sekarang tinggal di Depok, sementara di kakak masih di Kuningan. Tidak jelas apakah tanah sendiri atau kontrak. Mereka keturunan montir karena ayah mereka montir. Sekarang kerja di bengkel dekat sana milik seorang Tionghoa. Mereka baru di sana karena montir-montir lama tidak kembali lagi setelah Lebaran. Wah klasik sekali.

Ican malah ngobrol lebih banyak dengan si adik. Berapa ongkos yang diperlukan untuk pergi-pulang, pengalaman kerjanya yang ternyata pernah lima tahun di Serang, sampai upah mereka per hari. Si adik mendapat Rp.50.000 per hari, sementara si kakak bayarannya lebih tinggi. Yah, nikmat mana lagi yang kita dustakan? Sungguh rejeki itu rahasia-Nya, dan betapa banyak hal yang harus disyukuri seberapa pun kita punya. Kalau kita merasa menderita, masih banyak yang lebih menderita.

Si abang dan adik montir
Akhirnya si kakak datang sekitar jam 16! Ternyata dia kebingungan menemukan kembali lokasi tempat mobil kami parkir. Tidak lama mereka bekerja. Selama itu aku tunggu di mushola dekat sana, tidak ber-AC tapi cukup nyaman. Akhirnya pekerjaan selesai. Aku saksikan Ican membayar, dan kami ucapkan terima kasih dan selamat tinggal. Memang sudah putih rambut si kakak. Si adik juga ada beberapa helai rambut putih. That's life. Banyak hikmah kehidupan kalau bertemu orang-orang seperti mereka. Ah, semoga sarana transportasi umum murah dan mudah, semoga masyarakat adil dan makmur, semoga kesehatan dan pendidikan untuk semua, segera terwujud. Aamiin ya robbal alamin.

Sekitar jam 17, setelah 5 jam terhambat dari waktu yang seharusnya, akhirnya kami berdua bergerak meninggalkan Thamrin City. Membayar parkir yang membengkak menjadi Rp.24.000, kami meninggalkan ibu kota menyusuri jalan Kebon Kacang, Haji Mas Mansyur, ke arah jalan Penjernihan, lalu Slipi, dan masuk ke tol arah Tangerang - Merak. Rejeki kami kebagian Jakarta pulang kantor yang tersendat di mana-mana. Masih bagus kami tidak harus lewat daerah 3-in-1 karena kami cuma berdua dari biasanya Fattah selalu menjadi "paket" kami.

Tulisan Lia di bukunya untukku ;-)
Saat maghrib ada whatsapp dari Lia menanyakan apakah Fattah harus sholat karena dari dekat rumahnya terdengar suara azan. Keluarga Wijaya beragama Katholik. Sungguh baik dan penuh rasa pertimbangan sekali mereka. Indah dan sangat terasa semangat toleransi yang memang sebetulnya dimiliki oleh bangsa ini. Aku pribadi selalu percaya bahwa rasa saling toleransilah yang mengikat bangsa ini. Menurutku minoritas-mayoritas itu cuma ukuran statistik. Siapa pun harus melindungi satu sama lain. Sungguh nista memakai ukuran statistik untuk ditukar dengan perasaan, -mayoritas harus begini ke minoritas, minoritas harus begitu ke mayoritas- karena rasa itu tidak terukur. Semua tindakan kita harus berbasis kasih sayang, tenggang rasa, dan kebajikan universal. Indah, sungguh indah pertemanan ini.

Kami pun melaju ke Alam Sutera dengan sasaran keluar di pintu Kunciran. Lia spesial meminta aku untuk mengabarinya saat sudah dekat Karang Tengah. Satu lagi kebaikan keluarga Wijaya adalah untuk berjumpa kami di pompa bensin di dekat KFC seberang Giang Alam Sutera mengingat kalau ke rumah mereka akan macet. We really could not thank them enough. Kami tiba lebih dahulu dari mereka. Tunggu sebentar, tak lama keluarga Wijaya datang. Acara serah terima pun dilakukan. Abi masih juga ceria dan kami goda ingin adik perempuan atau laki-laki. Lia memang sedang hamil 5 bulan. Abi menjawab ingin adik perempuan. Saat ditanya kenapa, jawabnya karena dia laki-laki, jadi supaya ada anak perempuan. Boleh juga jawabannya.

Di tempat kami bertemu, datang seorang pedagang asongan menawarkan sandal pada kami. Sandalnya tidak sempat aku perhatikan, tapi sepertinya yang banyak dijumpai di pasar-pasar. Kami mengucapkan terima kasih padanya, dan mengatakan tidak berminat. Menghiba ia bilang ia perlu untuk ongkos pulang; ke Bandung kalau tidak salah dengar. Kalau ia bohong, itu urusannya dengan Yang Maha Esa, tapi buatku, meski pun aku tidak setuju mengeluh, kata-katanya sungguh menyentuh. Sekali lagi, nikmat Tuhan mana lagi yang kita dustakan? Apa yang dialami kami hari itu tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dialami penjual sandal itu, dua montir tadi, dan ribuan bahkan jutaan orang lain. 

Kami lapar dan sudah dengan rakus mengganjalnya dengan roti sobek yang aku beli di Hypermart tadi. Fattah sudah makan bakso dengan Abi tadi sore seperti diceritakan Lia di whatsapp. Sasaran tempat makan malam, apa lagi kalau bukan warung tenda di Pasar Delapan Alam Sutera. Ada rumah makan On Cai Bangka yang beberapa saat lalu sudah pernah kami coba, dan ke sana lagi kami menuju. Ican pesan kwetiau goreng, dan aku pesan bubur ayam. Fattah masih kenyang tapi tertarik kwetiau juga, jadi icip-icip sedikit. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00.

Perjalanan pulang kami lanjutkan. Lalu lintas Serpong cukup lancar. Tidak lagi banyak mobil yang akan keluar dan masuk ke Summarecon Serpong yang biasanya macet panjang. Kami berencana isi bensin. Sudah beberapa bulan -kurang lebih 6-9 bulan ini- kami pindah dari bahan bakar yang bersubsidi ke yang non subsidi. Tujuan pindah sebetulnya karena tidak puas dengan kinerja bahan bakar bersubsidi yang bukan cuma membuat mobil kurang laju, tapi ternyata boros juga. Kami memilih Shell, dan berusaha selalu isi bensin di saat pulang dari Jakarta. Pilihan isi bensin hampir selalu di depot Shell Karawaci menuju pulang, dan ke sanalah tujuan kami.

Dari tadi kami perhatikan di depot Shell lain, bahwa bahan bakan Shell yang Super hari itu Rp.11.150. Sudah lumayan turun dari harga terakhir kami mengisi. Kami pilih Shell karena servisnya yang baik, ada tempat mengisi angin yang lumayan baik dibanding milik Pertamina, kaca dibersihkan, depot rapi dan teratur, bisa bayar dengan kartu kredit, kasir tersendiri, dan toiletnya cukup bersih. Sayang sekali ya hal itu tidak terjadi di Pertamina. Harga Pertamax di Cilegon bahkan mendekati harga V-Power, bahan bakar termahal milik Shell. Hari itu kami berniat untuk mengisi yang biasa, tapi habis! Wah, ini langka sekali. Hm, V-Power atau Pertamax ya? Apakah ini dampak berkurangnya BBM bersubsidi dan dilarangnya penjualan BBM bersubsidi di jalan tol? Akhirnya kami pilih V-Power, dan biasanya full tank, kali itu tidak. Ketika membayar aku sempat bertanya mengapa persediaan BBM terbatas. Menurut kasir, perusahaan truk pengangkut dan pendistribusi BBM Shell berakhir kontraknya, jadi akibatnya BBM banyak kosong di mana-mana. Bahkan ada kalanya juga bahkan V-Power juga habis. Oh, sekali aku kembali pada pertanyaanku tentang kelangkaan BBM bersubsidi dan imbasnya. Begitukah?

Lanjut masuk tol arah Merak, bayar Rp.2.000 dan kami pun melaju. Fattah yang biasanya jarang tidur di perjalanan, malam itu  langsung terlelap. Tentu saja. Kami berdua pun berbincang di perjalanan panjang menuju Cilegon Timur. Sungguh masih beruntungnya kami bahwa mobil macet di area parkir, bukan di tengah jalan. Walau pun perlu waktu lima jam sampai akhirnya mobil jalan lagi, tapi semuanya patut masih disyukuri. Apa jadinya kalau mobil macet di tengah jalan. Kami bersyukur rencana kami selesai semua baru mobil bermasalah. Seperti satu kebetulan, tapi pasti tidak ada yang kebetulan. Aku ingin melihatnya bahwa kami sudah silaturahmi pada pembatik dan penjual batik Lasem, harus silaturahmi dengan montir, harus berbagi rizki pada mereka semua, termasuk penjual onderdil di Palmerah.

Beberapa saat lalu aku bilang bahwa aku suka sekali Thamrin City. Tadinya aku tidak mengerti mengapa, tapi berjam-jam di sana, memang tidak bosan memandangi beragam macam batik. Solo, Yogya, Pekalongan, Lasem, belum rumah-rumah kebaya bordir yang luar biasa cantik, tenun Nusa Tenggara atau Jepara, segala produk olahannya seperti aksesoris, taplak, seprai, you name it. Semua indah, adi luhung, tapi juga membumi, mengingatkan kita pada kehalusan budi, dedikasi, ketekunan, keindahan, tradisi, gotong royong, dan pada melting pot Indonesia dari beragam etnis yang tumbuh dalam karya tersebut.

Di jalan aku lihat twitter dan terbaca acara Mata Najwa sedang berlangsung dari twit @MataNajwa. Ya, hari Rabu harinya Mata Najwa, salah satu acara kesukaanku dan hampir selalu aku tonton pada jamnya. Sehari sebelum ke Jakarta, saat melihat iklannya di Metro TV, aku membayangkan bahwa aku akan bisa menontonnya sepulang dari keperluan ke Thamrin City dan lain-lain di hari itu. Tapi ternyata ceritanya lain. Syukurlah ada tayangan ulangnya malam Minggu. Memang bisa saja nonton di youtube, tapi nonton di layar besar dan bebas buffering kan jauh lebih enak.

Ke luar di Cilegon Timur, jam sudah menunjukkan jam 21:00 lebih. Tol cukup lengang. Tapi aku kaget melihat di sisi kiri banyak polisi beserta mobil-mobil siaga huru-hara. Memang keesokkan hari adalah hari pembacaan keputusan Mahkamah Konstitusi pada sidang sengketa pilpres yang riuh rendah itu, jadi mungkin mereka di sana untuk berjaga-jaga.

Kami tiba di rumah. Fattah dibangunkan, barang-barang dikeluarkan, kami mandi kecuali Fattah yang menolak mandi karena sudah mandi saat selesai renang di Kayu Putih, dan tak terasa kantuk pun cepat datang. Kombinasi bangun dan beraktivitas sejak pagi, letih, dan guyuran air hangat membuat badan rileks dan mengundang kantuk. Alhamdulillah atas semua kejadian panjang hari itu. Seperti kelakar salah seorang kawan yang sama-sama pergi haji saat aku meneleponnya untuk minta pertolongan mencari montir, "Mungkin mobil lu harus diganti, Moi." Mungkin. Tapi dari semua kejadian yang kami alami hari ini, biarlah semuanya berjalan alami. Kalau memang saatnya ganti mobil yang memang sudah (atau baru?) 10 tahun ini, ya pasti waktunya datang. Ada beberapa prioritas di atas beli mobil baru, tapi siapa tahu, walaupun itu -sekali lagi- bukan yang utama. 

Dari apa yang kami lalui hari itu, sekali lagi ada banyak berkah yang didapat dan syukur diucapkan. Kekuatan teman -dekat maupun kurang dekat- sungguh luar biasa. Naluri manusia yang ingin menolong dan bahagia saat sudah menolong itu sebenarnya ada pada siapa pun, dan harus terus dipupuk kalau tidak akan musnah. Berbuat baik itu menyenangkan hati. Dan, ini penting buat diriku sendiri sih; berprasangka baik pada apa yang terjadi itu baik untuk jiwa, biar tidak kesel dan akhirnya sakit; sakit fisik dan sakit psikis. :D

Comments

meilawijaya said…
suka banget sama cerita Hari Panjang ini mba Moi..
makasih juga untuk mba Moi.. ceritanya bisa sebagai pembelajaran aku juga xixixi...
Moi Kusman said…
Terima kasih, Lia. <3

Popular Posts