Mengapa Homeschooling (Bagian 1 - Amira)

Buku Pengayaan Amira saat SD
Setelah menulis dan memasang foto tentang laporan karya akhir dan skripsi anak-anakku Fari dan Amira di sini, dan membagikannya ke grup Indonesia Homeschooler di facebook, ada yang bertanya apa alasan kami mengeluarkan ke dua anak kami -dari tiga anak semuanya-, yang sudah sekolah formal, dan memutuskan untuk homeschooling. Aku mencoba menulis jawabannya sedikit-sedikit. Pernah aku tulis tapi itu berupa share di grup Indonesia Homeschooler, atau status di facebook yang berserak tidak berkumpul. Untuk itu aku mencoba ingin menyusun kembali.

Aku tahu tentang homeschooling dari satu artikel di harian Kompas Minggu. Aku tidak ingat tahun berapa artikel itu; yang aku ingat saat itu Fari dan Amira masih Sekolah Dasar. Saat membaca artikel itu, aku merasa mendidik anak di rumah dan tidak menitipkan di sekolah format adalah hal yang sungguh menarik. Terus terang kami sungguh tidak mempunyai masalah berarti di sekolah formal, hanya saja aku sering tidak sreg dengan, contohnya: nilai-nilai kebersihan sekolah, ketidak-teraturan jajanan yang dijual di sekolah, orang tua -apa lagi yang merasa punya uang dan kekuasaan- yang mengatur sekolah, guru-guru yang melakukan pendekatan yang kurang benar pada anak, lingkungan yang menilai anak dari kacamatanya saja tanpa menghormati anak, sistem ranking yang tidak adil, guru-guru membandingkan siswa dengan siswa lain dan membandingkan kakak dengan adik, tidak bisa bebas memilih buku-buku untuk belajar di sekolah dan kalau pun bisa hanya bisa dipakai sendiri dan menambah pengeluaran, terpaksa harus menggunakan seragam dengan kualitas bahan yang kurang baik, penghargaan yang kurang terhadap kreatifitas siswa dalam penggunaan bahan bekas untuk proses belajar, terpaksa harus memakai kaos kaki putih dan sepatu hitam saja tidak boleh warna lain, dan tentu saja nilai-nilai kehidupan yang tentunya beda antara sekolah dan rumah. Banyak juga.

Aku -yang dari dulu sampai sekarang dengan Fattah 10 tahun- selalu jadi supir antar kegiatan anak-anak, senang ngobrol dan cerita di saat aku mengemudi dan anak-anak jadi penumpangnya. Di saat itulah aku biasa menularkan nilai-nilai kehidupan, dengan memakai keadaan sekeliling sebagai contohnya. Saat itu aku bercerita tentang artikel sekolah di rumah yang aku baca di Kompas. Anak-anak tidak berkomentar apa-apa. Namun ketika bagi rapor Amira lulus SD, salah satu orang tua murid bertanya padaku apakah benar Amira tidak mau melanjutkan sekolah dan mau sekolah di rumah saja? Aku tidak menyangka dan kaget setengah mati. Amira saat itu menggelendot manja padaku dan berkata, "Iya kan, bu?" Wah, speechless. Aku sangat ingin, tapi saat itu aku betul-betul tidak tahu bagaimana, kurikulumnya apa, kelanjutannya bagaimana, dan banyak lagi pertanyaan di kepala.


Amiralah di antara anak-anak kami yang pertama tertarik pada homeschooling. Namun karena belum tahu sama sekali tentang homeschooling, kami waktu itu langsung memutuskan untuk memasukkan Amira ke SMP. Sasaran kami saat itu memasukkannya ke SMP Negeri 1 yang merupakan SMP favorit saat itu di kota kami. Amira harus ikut tes selain seleksi nilai hasil ujian. Ternyata Amira tidak diterima. Tujuan berikut adalah ke SMP swasta YPWKS (Yayasan Pendidikan Warga Krakatau Steel) yang berada dalam satu yayasan dengan SD tempat anak-anak sekolah tamat. Karena alumni dari SD yang masih satu yayasan, tentu saja Amira diterima di SMP tersebut. Apa lagi pak Zuladri, pelatih kepala di klub renang tempat anak-anak berlatih adalah guru olah raga di SMP itu. Beliau senang sekali perenangnya bersekolah di SMP tempat beliau mengajar.

Amira senang menjalani masa SMP-nya. Dia ikut bagian dalam OSIS, dan bermalam karena ikut serta pelatihan anggota OSIS di satu situ (danau kecil) di dekat Anyer. Namun dengan berjalannya waktu, Amira sering mengeluh sakit kepala di pagi hari, dan membuatnya enggan ke sekolah. Dia juga makin sering menanyakan kapan dia bisa homeschooling. Kami juga bingung apa yang membuatnya sering pusing, dan mengapa dia masih enggan sekolah. Usahaku mencari tahu tentang homeschooling masih berlangsung. Tapi, saat itu aku tidak tahu harus bertanya ke siapa. 


Saat itu -tahun 2005- media sosial yang aku ikuti hanyalah yahoogroups, yang itu pun juga jarang aku amati. Aku mencari tahu di situs-situs homeschooling yang aku cari via Google dan sebagian besar adalah situs homeschooling Amerika. Aku pergi ke tempat bertanya yang tersedia di situs tersebut tentang bagaimana homeschooling di Indonesia. Karena situs asing, tentu saja aku harus bertanya dalam bahasa Inggris. Aku masukkan ke sekitar dua situs.



Selang beberapa lama akhirnya ada yang menjawab pertanyaanku. Pertama menjawab di situsnya, lalu lanjut ke email, lalu ke yahoo chat. Orang yang menjawab itu, yang bernama Ines -dan kami masih dekat sampai sekarang, berkata bahwa dia tinggal di Tangerang dan menghomeschoolingkan anaknya. Ines yang banyak menjawab kegalauanku saat itu. Aku masih ingat bahwa penyemangat pertama darinya itu tentang modal menghomeschoolkan anak. Syaratnya harus percaya diri. Menurutnya, penelitian membuktikan bahwa seorang ibu "hanya" perlu lulus SMA untuk dapat mengajar anak sendiri di rumah. Tentu saja aku masih banyak bertanya seperti yang belakangan telah dihimpun dengan sangat baik di Pengantar Homeschooling ini oleh Aar Sumardiono, orang ke dua yang aku kenal saat aku masih galau homeschooling, dan mungkin tidak pernah selesai ini. 

Homeschool ID dari internet,
kosong, tinggal diisi. ;-)


Akhirnya di akhir semester pertama di SMP, Amira keluar dari SMP. Kami sudah punya bekal kepercayaan diri. Belum terlalu bulat, tapi cukup berani. Pak Zuladri menyayangkan keputusan kami. Di kolam renang saat bertemu sering beliau ungkapkan perasaan menyesalkan keputusan kami. Sampai beliau berbaik hati khusus bertandang ke rumah kami untuk diskusi dengan kami. Keprihatinan beliau sebetulnya sangat wajar dan manusiawi. Program paket A, B, C yang kami sebut sebagai pilihan kami untuk ujian dianggapnya sebagai program yang belum baik, dan sayang untuk anak secerdas Amira. Begitu pula dengan keprihatinannya bila salah satu orang tua tiada, maka siapa yang akan mengajar Amira. Banyak kekuatirannya adalah kekuatiran kami juga sebetulnya. Tapi, pelajaran dari tidak naik kelasnya abangnya Amira yang sedikit aku cerita di sini, juga termasuk yang menguatkan kami untuk tetap memutuskan homeschooling, walau pun saat itu kami masih sangat hijau. 

Comments

Anna Farida said…
Ibu yang sungguh berani!
Moi Kusman said…
Nekad lebih tepat, Anna. Terima kasih atas keberanianmu menyebutku berani :D
Anonymous said…
Saya juga punya niat meng HS kan kedua anak saya, umur 5 dan 4 tahun sekarang. Kapan-kapan kalau ada masalah, boleh saya bertanya-tanya ya, Bu?
Moi Kusman said…
Silakan, dengan senang hati.

Popular Posts