Teladan, Bimbingan, Dorongan; Karena SEMUA Anak Pada Dasarnya Baik.

Saat ujian kenaikan level di tempatku mengajar, di mana aku harus mengawas di kelas lain, dan merasakan apa yang aku inginkan di kelasku tidak terjadi di kelas lain, membuatku makin yakin betapa pentingnya hal yang biasa aku lakukan di awal kelas seperti yang sudah kutulis di tulisanku Icebreaker di kelasku: "No "salim" for me, please." Sungguh ironis menyaksikan siswa datang terlambat, lalu dengan wajah lempeng, bahasa Sunda yang artinya lurus, masuk kelas tanpa sungkan dan tanpa memberi alasan mengapa ia datang terlambat seolah apa yang diperbuatnya bukan merupakan satu ketidakbenaran, guru diminta memakluminya, tapi yang lebih sedih lagi adalah adanya ketidaksadaran bahwa apa yang diperbuatnya telah merendahkan siswa itu sendiri karena kebiasaan tidak baiknya. 

Di tempatku mengajar siswa dilarang memakai sandal, alias harus memakai sepatu. Walau pun aku tidak setuju pada peraturan itu, yang mana aku selalu membiarkan siswa memakai alas kaki apa pun yang mereka suka pada saat mereka hadir di kelasku; tapi pada saat ujian aku tekankan pada siswa untuk mematuhi apa yang tertulis di peraturan, yaitu dengan bersepatu. Hari-hari tidak ujian saat mereka bertemu denganku bolehlah tidak bersepatu karena menurutku kegiatan belajar mengajar tidak ada hubungannya dengan apakah siswa memakai sepatu atau tidak. Tapi saat berurusan dengan orang lain, siswa mau tidak mau harus patuh. Ini sebetulnya sama anehnya dengan keharusan memakai kemeja atau kaos berkerah saat berurusan dengan birokrasi seperti foto paspor, atau bertemu dengan birokrat.

Segala atribut penampilan buatku yang cuek ini sih tidak jadi masalah saat belajar di kelasku. Aku mencoba untuk tidak menghakimi apa yang orang kenakan. Mau celana jins, celana bolong di lutut, celana pendek, baju tank-top you-can-see, pakai sandal jepit, rambut tidak disisir, tidak masalah. Yang menjadi masalah buatku adalah masalah sikap dan etika sopan santun, bukan sekedar kemeja harus dimasukkan ke dalam celana atau rok seragam, pakai sabuk hitam, sepatu hitam, rambut cepak,  

Ada satu lagi yang aku juga aku terapkan di kelas: membawa peralatan tulis menulis lengkap sendiri sehingga tidak ada pinjam meminjam. Sungguh Jer basuki mawa bea, kata sebuah kalimat bijak dalam bahasa Jawa yang artinya: untuk mencapai kesejahteraan atau kebahagiaan diperlukan biaya atau pengorbanan yang harus dibayar. Membawa peralatan tulis menulis sendiri juga memberi sinyal pada diri sendiri kalau kita siap untuk belajar dan menerima ilmu.

Tapi di atas segalanya, hal yang jauh lebih penting lagi adalah penerapannya dari hari ke hari disertai contoh dari si pengampu peraturan yaitu guru. Guru yang digugu; dipercayai, dituruti, atau diindahkan seperti kata KBBI, dan ditiru itu harus setara kata dan perbuatannya. Jauh dari prasangka buruk, bahkan sebaliknya harus selalu berpijak pada kredo bahwa SEMUA anak itu pada dasarnya baik. Jadi memberi teladan, bimbingan, dan dorongan -seperti yang disebut bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara- itu tidak bisa tidak merupakan satu-satunya pilihan.

Gambar dari sini.

Comments

Popular Posts