Bapakku, tentara perang kemerdekaan 1947 - 1949



Beberapa hari yang lalu, di grup whatsapp, adikku Nugi mengajukan kuis kecil-kecilan tentang bapak, bapak kami Wim Koesman. Kuisnya:

Manakah dari pilihan di bawah ini yang dianggap bapak sebagai puncak karirnya sebagai tentara? 


  1. Sebagai tentara perang kemerdekaan dari akhir 1947 - pertengahan 1949?
  2. Sebagai anggota tentara perdamaian PBB, Kontingen Garuda II di Congo tahun 1960?
  3. Sebagai salah satu yang terpilih menjadi pengawal presiden Soeharto dalam lawatan keliling Eropa tahun 1970an?
  4. Sebagai wakil komandan batalyon Pomad Para Ciluar, Bogor?
  5. Sebagai wakil komandan rayon militer di Wamena, Papua, atau Irian Jaya saat bapak di sana?

Bapak dengan tongkatnya.
Bapak, demikian anak-anak beliau memanggilnya, dan eyang kakung oleh 14 cucu beliau, sekarang tinggal di Bogor, seorang pensiunan tentara, dengan pangkat terakhir Kolonel CPM, Corps Polisi Militer. Lahir tahun 1929 tapi tercatat di militer tahun 1930, tahun ini di tanggal 2 September nanti bapak ulang tahun ke 86. Tinggi besar dengan tinggi 185 cm yang berbeda dari orang Indonesia di jamannya, masih sehat, masih suka membaca buku terutama genre sejarah sebagai genre kesukaannya, masih baca koran, makan masih banyak (baca: rakus, sampai mama bilang, "dasar awak (badan) waras (sehat)" dan tidak ada pantangan, masih mengemudi dengan transmisi manual keliling Bogor bahkan ke Jakarta, masih mengacungkan bogem kalau ada pengemudi ugal-ugalan, masih suka iseng jahil pada cucu-cucunya, meski pun lutut kanannya sering jadi penghalang untuk jalan.

Bapak dan mama.
Kembali ke kuis kecil di atas, kami semua mencoba menebak apa sebetulnya yang dianggap bapak sebagai puncak karirnya sebagai tentara itu. Akhirnya Nugi mengeluarkan kunci jawaban yang ia dapat dari bapak sendiri. Jawaban bapak ternyata adalah no. 1! Alasan bapak: "Karena itu satu-satunya peran sebagai tentara yang dijalankan yang bukan karena perintah, uang, atau jabatan." Berdiri bulu kudukku, tercekat kerongkongannku, sesak dadaku, basah mataku membaca alasan bapak. Jadi kalau sebagian besar dari kami anak dan cucu beliau cinta pada pekerjaan kami karena betul-betul cinta tanpa pengaruh perintah, uang, atau jabatan, rupanya dari beliaulah semua ini berasal.


Hari ini 70 tahun Indonesia merdeka. Bapak adalah tentara sederhana, bahkan, maaf, lugu, yang tidak punya apa-apa saat beliau pensiun, hidup sederhana dari hari ke hari saat menjadi tentara walau pun saat itu kami pernah punya supir dan jabatan bapak cukup lumayan, tidak mau mengambil yang bukan haknya, mengajari kami untuk kerja keras, kukuh pada pendiriannya. Mungkin sebagai tentara beliau punya banyak kekecewaan sehingga melarang adikku Bugie saat ia mengutarakan niat untuk jadi tentara; alasan beliau "Kamu nanti tidak bisa profesional", tapi beliau adalah ayah yang baik, yang sudah sangat bekerja keras, hidup jujur dan lurus demi keluarganya, dan kami banggakan. Dirgahayu Indonesia. 

Comments

Yulistana PN said…
Waaaah,,,,menarik bu menilik dari jenjang karir beliau.
Kurleb sama dengan generasi bapak kami,,,beliau tidak mengijinkan anak2nya mengikuti jejaknya, yaaa karena memang faktor fisik juga ya itu tadi,,bapak nggak punya apa-apa lagi ketika pensiun. Jadilah generasi kami,,,tidak ada yg mengikuti jejaknya. Mulai dari kakak, sepupu, sodara2 lainnya.
Salut terhadap eyang kakung yg masih segar bugar bu....
Moi Kusman said…
Wah, kog saya lupa kalau bapak juga tentara ya. Di mana & bagaimana ceritanya? Alhamdulillah bapak masih sehat. Terima kasih sudah baca.

Popular Posts